Gilbert, 14, adalah anak putus sekolah yang bekerja sebagai buruh pencukil kelapa kopra di daerah Pantai Stres Batuampar. Setiap harinya dia mampu mencukil kelapa kurang lebih sebanyak 10 sampai 15 kilogram. Tiap kilogramnya Gillbert mendapatkan upah sebesar Rp.700. Gilbert merupakan salah satu dari sekian banyak pekerja anak yang ada di Indonesia.
Dari data Sakernas tahun 2003, jumlah pekerja anak-anak (di bawah usia 15 tahun) mencapai 556,526 orang. Kalau digunakan batasan dari UU No 13 tentang Ketenagakerjaan tahun 2003, dimana disebutkan yang termasuk pekerja anak-anak (PA) adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun maka jumlahnya akan semakin besar. Angka dari Sakernas (2003) menunjukkan para PA yang di daerah perdesaan jauh lebih banyak yakni sebesar 79% dibanding di perkotaan yakni sebesar 21%. Dilihat dari jenis pekerjaannya,sebanyak 62% bekerja di sektor pertanian, 19% di industeri dan, dan 19% di sektor jasa. Hal yang menarik diungkapkan bahwa sebanyak 74% merupakan PA yang tak dibayar karena memang statusnya adalah membantu bisnis orangtuanya. Sementara sebanyak 14% berstatus pekerja tetap di berbagai industri. Golongan yang disebut terakhir ini umumnya dibayar dengan upah yang relatif rendah. Selain itu perusahaan merasa perlu menerima mereka karena alasan-alasan dapat menekan biaya produksi, mereka mudah diatur karena tak banyak menuntut.
Walaupun sudah ada UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetap saja PA berkeliaran dimana-mana. Dalam UU itu dikatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orangtua dilarang menelantarkan anaknya. Kalau dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman termasuk perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Di sisi lain dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimum tiga jam seharinya.Namun kenyataannya penerapan semua UU itu tidak berjalan semestinya. Tetap saja PA berlangsung dimana-mana.Malah ada yang sangat gawat yakni jual beli anak-anak di bawah umur untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks.
Kasus banyaknya PA di negara-negara berkembang seperti di Indonesia juga terjadi di negara-negara lain. Hampir di semua negara Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin dengan mudah dijumpai para PA. Disamping dalam pekerjaan formal maka mudah terlihat mereka sebagai tukang pensemir sepatu, pengamen,tukang parkir, penyewa payung, kuli, dan penjual koran. Bahkan di beberapa kota di Indonesia seperti di Bogor, banyak sekali anak-anak yang seharusnya bersekolah di sekolah dasar dan lanjutan,terpaksa mereka ada di jalanan. Tidak saja di siang hari tetapi sampai larut malam untuk mengais rupiah dari orang lain. Mengapa mereka melakukan hal itu? Karena mereka tak punya pilihan lain yang terbaik. Kehidupan keseharian mereka sebagai wajarnya seorang anak yang ceria, sehat, rajin bersekolah, dan senang bermain terampas oleh keadaan yang sulit dicegah. Biang keroknya adalah faktor kemiskinan absolut.
Karena itu seharusnya pemerintah dan semua lapisan masyarakat utamanya golongan yang beruntung untuk memanfaatkan momen Hari Pemberantasan Kemiskinan yang disponsori PBB, Oktober 2007 yang lalu. Kemiskinan semestinya tidak lagi menjadi wacana kampanye partai politik. Kemiskinan tidak lagi hanya berhenti pada jargon-jargon kalangan seniman, pendawah, pekhutbah, Dan cuma dicerminkan oleh peresmian-peresmian seremonial belaka oleh para pemimpin dengan janji-janji memikat. Jangan pula berhenti sebagai isapan jempol. Triple track strategy dari pemerintah berupa pro-growth, pro-employment,dan pro-poor hanyalah akan bersifat retorika kalau tidak dijabarkan dalam bentuk pelaksanaan program-program terarah. Perlu dibangkitkan gerakan empati pada kemiskinan dengan berbuat nyata. Peluang untuk memperbanyak orangtua asuh, peluang kerja di beberapa sektor penyerap tenaga kerja seperti sektor pertanian, program kesehatan dan pendidikan murah, dan dukungan infrastruktur tak bisa ditunda-tunda lagi. Kapan lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar