Jumat, 21 Desember 2012
Selasa, 31 Juli 2012
Rohingya
Rohingya ethnic group who are predominantly Muslim northern Rakhine State in western Myanmar. Rohingya population is concentrated in two cities of northern Rakhine State (formerly Arakan)
The Arakan state of Northwest Myanmar remains tense since 8-June's Rohingya attack. The government of Myanmar imposed curfews in major towns of the state. Hundreds of Buddhist villagers' houses set ablaze and villagers are killed by the Rohingya attackers.
The attackers are Rohingyas, the stateless people from Myanmar-Bangladesh border. They are not one of the ethnic groups of Myanmar and Myanmar netizens see them as illegal immigrants.
Several reports about the Arakan riot hit the headlines of international news channels. Many of which claim that Rohingya Muslims are attacked by the Buddhist villagers. This, however, is not true. In fact, most reports on Rohingya riot are fabricated, well-planned and deceptive.
With strong funding from the Arab nations, Rohingya advocates have successfully bribed some foreign-based media groups of Myanmar and have them make up stories about how Rohingyas are oppressed by the government of Myanmar. In order to attain sympathy for the Rohingyas, they even use social networks such as Facebook and Twitter to spread false information.
In an incident, a Facebook user namely Mohammad Saleem, posted pictures of expatriates in Dubai and labelled as Rohingyas killed during the Arakan riot.
In another incident, a media group, namely Kaladan Press published a picture of 2011's bomb blast in Southern Myanmar and mentioned as Rohingyas killed during the Arakan riot.
In a report from a local media today, the authorities of Myanmar have caught the mastermind of the ongoing attack and found evidence of Rohingyas' recent connection with Al Qaeda. It is clear that Rohingyas are not the victims in the Arakan riot. It is not a religious riot happening on the Arakan land. It is a terrorist attack which every nation should take precaution with.
Selasa, 24 Juli 2012
Nude Photography, seni atau pornografi?
Nude Photography, seni atau pornografi?
As to be hated only needed to be seen
Yet seen too oft, familiar with her face
We first endure, then pizy the embrance
Alexander Pope
Secara bebas diterjemahkan:
Maksiat adalah makhluk ganas yang bikin ngeri dan rasa cemas
Begitu terlihat kan timbul kebencian teramat sangat.
Tapi bila dipandang berulang-ulang wajahnya kan selalu kenyang,
Semua ditolerir, kemudian diberi belas kasihan, untuk akhirnya dirangkul dengan penuh kemesraan.
Pendahuluan
Dewasa ini fotografi merupakan salah satu kegiatan yang sering dilakukan orang. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, perorangan hingga lembaga. Baik sebagai sebuah alat pendokumentasian sebuah kegiatan yang mereka lakukan atau sebagai pengembangan kreativitas dan hobby. Asal mula kegiatan fotografi sudah ada sejak jaman aristoteles. Pada waktu itu, kamera tidaklah seperti yang kita punyai di rumah sekarang, melainkan masih sebesar ruangan yang bisa dimasuki oleh puluhan orang yang disebut kamera obscura. Peristiwa pertama yang coba diabadikan oleh kamera obscura tersebut adalah momen gerhana matahari. Bayangan sinar matahari yang menerpa sebuah lubang kecil (pinhole) yang terdapat di dinding ruangan merefleksikannya ke dinding ruangan di seberangnya hingga membuat sebuah image.
Seiring perkembangan jaman, kamera obscura mulai berubah menjadi sebuah kotak kecil yang berfungsi sebagai alat bantu membuat sketsa lukisan para seniman pada waktu itu. Pada masa tersebut muncul keinginan beberapa ilmuwan untuk dapat mempertahankan image yang dimunculkan dalam kamera obscura agar tidak cepat memudar. Akhirnya pada awal abad 18 mulai dikenal proses cetak mencetak pada fotografi. Kegemaran akan teknologi baru tersebut memunculkan berbagai teknik fotografi modern. Kamera digunakan tidak hanya sebagai alat dokumentasi saja, tapi juga sebagai alat pengembangan hobby fotografi. Berbagai teknik dasar foto seperti pemotretan still life, landscape, portrait mulai dikembangkan.
Fenomena nude photography di masyarakat
Fotografi adalah seni, yaitu pemotretan yang menghasilkan foto yang indah, bernilai seni tinggi. Bisa dinikmati oleh masyarakat luas sehingga membuat penikmatnya tertawan oleh keindahan, kekaguman, dan pengalaman batin akibat kesan yang ditimbulkan oleh foto tersebut. Foto yang bernilai seni tidak hanya merupakan foto pemandangan alam atau landscape yang indah saja, seperti foto yang menggambarkan suasana air terjun di dalam hutan hijau dengan buih busa yang putih dan efek kabut yang menyelimuti dasar jurang serta sinar mentari yang menembus pepohonan. Foto bernilai seni juga bisa berupa foto situasi sebuah perkampungan di maluku yang hancur lebur akibat kerusuhan yang terjadi di sana. Hal tersebut disebabkan keindahan suatu karya foto dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor; peralatan memotret, situasi pemotretan, objek yang dipotret, dan yang paling utama adalah fotografer yang memotret. Ada fotografer yang memiliki peralatan memotret yang canggih, namun karena tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang fotografi, maka hasilnya akan sia-sia. Ia tidak mampu menampilkan pesan yang ingin disampaikan dalam bentuk karya foto. Namun bila seorang fotografer memiliki kemampuan yang cakap, seperti mampu menghasilkan foto dengan momen yang pas, walaupun hanya menggunakan kamera saku biasa, hasilnya akan menjadi sebuah karya foto yang bernilai seni tinggi.
Selain itu keindahan sebuah karya foto kadang sering pula dihubungkan dengan sosok kaum hawa. Ada anggapan bahwa foto yang menarik adalah foto yang menampilkan kecantikan seorang wanita. Lihat saja media massa cetak yang beredar sekarang ini, umumnya pada halaman sampul lebih mendominasi sosok wanita, walaupun media massa cetak tersebut dikhususkan bagi pembaca pria. Apalagi sosok wanita itu ditampilkan plus lekuk-lekuk dan kemolekan tubuhnya yang indah, seperti yang ditampilkan tabloid-tabloid baru yang belakangan banyak muncul di masyarakat yang menampilkan kecantikan dan keindahan tubuh wanita.
Bahkan beberapa waktu lalu sejumlah majalah mingguan dipermasalahkan karena menampilkan foto seorang model pada halaman sampulnya dan dianggap porno oleh pihak yang berwajib. Pemimpin redaksi, fotografer dan modelnya dipanggil oleh kepolisian untuk dimintai keterangan. Fotografer dan modelnya merasa bingung karena mereka merasa tidak melakukan kesalahan dan tidak adanya penyelesaian hukum yang jelas. Sang fotografer merasa bukan membuat foto porno, melainkan sebuah karya seni yang menampilkan keindahan sosok wanita, seperti kasus Sophia Latjuba dan Inneke Koesherawaty. Ada juga kasus Dewi Syuga yang sangat menghebohkan itu. Ironisnya, tabloid-tabloid yang jelas-jelas mengutamakan erotisme, baik dari sampulnya sampai materi isinya, tidak pernah diganggu gugat. Bahkan sampai kini tetap saja berkibar dengan bebasnya.
Menurut Atmadi (1985) dalam tulisannya berjudul Pornografi dalam pers, di Amerika Serikat yang notabene kehidupan persnya dikenal sebagai pers yang sangat bebas dibandingkan dengan negara lain, masih ada orang yang pro dan kontra terhadap masalah pornografi. Bagi mereka yang pro, maka pemuatan bahan-bahan yang bersifat pornografis dalam pers adalah merupakan bagian dari kebebasan pers. Adapun kebebasan tersebut bersumber pada suatu ketentuan konstitusional yang tercakup dalam rangkaian amandemen-amandemen Undang-undang Dasar Amerika Serikat yang berbunyi, “Congress shall make no law… abridging the freedom of speech or of the press” (Kongres tidak boleh menetapkan undang-undang … yang mengurangi kebebasan berbicara dan kebebasan pers).
Sebuah komisi di Amerika Serikat yang diberi nama Commission on Obscenity and Pornography pernah membuat kesimpulan yang berbunyi “Public opinion in America does not support the imposition of legal prohibition upon the rights of adults to read or see explicit sexual materials” (Pendapat umum di Amerika Serikat tidak mendukung adanya pelarangan berdasarkan undang-undang terhadap hak orang-orang dewasa untuk membaca maupun melihat bahan khusus yang menyangkut seks).Bagi mereka yang kontra, maka penyajian bahan-bahan bacaan yang bersifat pornografis itu mereka anggap sebagai suatu invasi terhadap privacy seseorang. Malahan diantara anggota komisi tersebut di atas ada juga yang menentang dan telah tercatat pernah memberikan appeal kepada masyarakat sebagai berikut, “Credit the American public with enough common sense to know that one who wallows in filth is going to get dirty” (Berilah kepercayaan kepada masyarakat Amerika, bahwa mereka cukup memiliki kesamaan rasa untuk mengetahui bahwa apabila orang terlalu asyik dengan kekotoran tentulah ia akan menjadi kotor).
Pada umumnya perbedaan pendapat di Amerika sudah tidak mempermasalahkan pada bahan itu porno atau tidak, melainkan apakah bahan-bahan pornografis itu layak dijadikan konsumsi umum. Kalau “ya”, apakah perlu pembatasan? Dan sampai sejauhmana pembatasannya? Kalau “tidak”, apakah sudah sesuai dengan way of life orang Amerika?
Komisi tadi menyimpulkan pada umummya mereka berpendapat bahwa masalah pornografi itu adalah masalah selera belaka dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah moralitas. Komisi tersebut menambahkan bahwa nafsu yang berhubungan dengan seks itu perlu dicarikan salurannya untuk mencapai kepuasan dan bukannya untuk dibendung, sedangkan yang dinamakan cabul itu disamakan dengan keindahan yang kedua-duanya tergantung pada orang yang melihat dan menilainya. Dari sinilah orang mulai mensahkan praktek-praktek free sex. Pornografis dianggap memiliki nilai pendidikan yaitu memberikan penerangan tentang seks dan mendorong agar orang lebih terbuka mengenai seks. Tapi sebagaimana diakui juga bahwa tidak semua orang berpendapat demikian. Walaupun banyak orang berpendapat bahwa meningkatnya pornografis dalam penerbitan pertanda perubahan dan kemajuan, tapi masih ada yang menganggap sebagai cermin kemerosotan moral.Dalam dunia seni dan sastra telah dikenal erotic realism. Penerbitan di Amerika pun menganggap bahwa mereka juga memiliki hak untuk menyajikan bahan-bahan yang bersifat erotic realism. Mulailah mereka berjuang meyakinkan khalayak tentang pentingnya unsur erotis dalam kehidupan manusia. Mempersamakan masalah seks dengan masalah-masalah lain yang bersifat non seksual. Menetapkan bahwa orang bebas untuk membuat dan menyiarkan deskripsi aspek-aspek yang realistis dan hidup.
Demikian pula dengan deskripsi segala bagian tubuh, tanpa kecuali; rambut adalah rambut, dimanapun tumbuhnya. Bibir adalah bibir, dimanapun letaknya. Ini adalah aliran erotic realism, memandang hidup apa adanya. Mereka membuat batasan sendiri, yaitu segala aspek yang realistis itu tidak dengan sengaja disajikan untuk membangkitkan nafsu birahi, hal itu dianggap tidak termasuk kategori pornografi.Ketelanjangan tubuh memang telah lama menjadi objek bagi perkembangan kesenian, bahkan sejak asal mula manusia. Lihat saja relief-relief yang tertera di candi-candi yang banyak menampilkan gambar telanjang. Atau lukisan wanita yang dilukis oleh pelukis legendaris seperti Michaelangelo, Monet, bahkan Basuki Abdullah. Tampaknya mengkreasikan ketelanjangan ini telah menjadi semacam konvensi bagi para seniman sehingga dianggap sebagai suatu kewajaran. Tapi bagaimana kalau ketelanjangan tadi dimanifestasikan dalam bentuk karya foto? Dalam dunia fotografi, sudah sejak lama dikenal istilah nude photography atau foto telanjang, bahkan usianya pun semasa dengan munculnya fotografi itu sendiri. Nude photography biasanya yang ditampilkan adalah foto model tanpa busana, pria maupun wanita, namun karya fotonya tidak menampilkan keseronokan belaka. Sudut-sudut pengambilan gambar (angle photo) ditampilkan dengan pencahayaan (lighting) dan komposisi yang sedemikian rupa sehingga kesan seronok pada foto telanjang tersebut dihilangkan. Dalam kacamata seorang fotografer, foto telanjang yang ditampilkan dengan teknik-teknik fotografi tertentu bukan merupakan karya pornografi.
Di sinilah seringkali muncul pro dan kontra apakah suatu foto telanjang itu layak disebut seni atau termasuk pornografi. Menurut Jim Supangkat, seorang perupa dan pengamat seni, ada dua hal yang menyebabkan munculnya reaksi bila ketelanjangan itu ditampilkan melalui fotografi, dibandingkan melalui lukisan. Pertama, bahwa tradisi seni lukis menampilkan wanita telanjang telah berlangsung lebih dulu, yang menyebabkan orang telah menerima ketelanjangan tersebut sebagai sebuah konvensi. Disini orang sudah tidak melihat ketelanjangan itu sebagai bagian dari kehidupan, tapi merupakan bagian dari kesenian. Maka dalam seni lukis dan seni patung terdapat jarak antara penikmat dan ketelanjangan yang ditampilkan. Maksudnya betapapun lukisan telanjang itu sangat mirip, sangat realistik, orang tetap menganggap itu sebagai dunia lain yang bukan bagian dari kenyataan. Sedangkan dalam fotografi, tidak ada jarak antara penikmat dengan karya foto, karena foto dianggap sebagai bagian dari kenyataan. Kedua adalah berkaitan dengan industri, dalam artian penggandaan dalam jumlah banyak. Misalnya dalam sebuah pameran foto yang menampilkan perempuan telanjang, walaupun ketelanjangannya relatif lebih berani dari yang ditampilkan dalam sebuah majalah, reaksi yang terjadi relatif lebih kecil. Sementara dalam sebuah majalah, foto yang sama ditampilkan, kemudian muncul reaksi, itu karena ada unsur penggandaan. Jadi sebetulnya pornografi muncul dalam pengertian ketika ia digandakan dan disebarluaskan, bukan substansinya.
Pendapat lain disebutkan Sineas Garin Nugroho bahwa batasan pornografi biasanya tidak memiliki deskripsi yang jelas. Dia hanya punya deskripsi setelah terjadi apa yang disebut keputusan-keputusan pengadilan sebagai preseden. Namun pengadilan kita tidak memiliki kepastian hukum, sehingga penerjemahan terhadap apa itu pornografi hampir tidak pernah ada, karena kepastian hukumnya hanya untuk kepentingan tertentu. Jadi pornografi harus diterjemahkan melalui pengadilan lewat keputusan hakim.
Lebih ekstrim dikatakan musikus Sujiwo Tejo bahwa ketelanjangan itu relatif tergantung ruang dan waktu. Pada ruang waktu sebelumnya mungkin telanjang dada itu tidak apa-apa. Tapi pada ruang waktu yang lain, telanjang dada dianggap porno. Jadi sejauhmana telanjang atau tidak itu disebut porno sangat subyektif tergantung pada motif orang yang melihat serta motif dari kreatornya.
Namun ketika pornografi itu sudah menjadi komunikasi massa, maka ia akan tergantung pada orang yang paling berwenang menjelaskan itu porno atau tidak, dalam hal ini pemerintah atau orang yang merasa diri menjadi panutan masyarakat. Jika sebuah karya itu motivasinya memang tidak pornografi dan masyarakat menilai itu pornografi karena tokoh atau lembaga yang berwenang menilainya porno, pertanyaannya adalah adakah motif politik lain? Adakah misalnya isu pornografi dipakai sebagai suatu isu untuk nantinya ada lagi pembreidelan, pers dibungkam.Ukuran untuk mengatakan suatu gambar itu porno atau seni tergantung dari persepsi masyarakat tentang tubuh, hal ini sangat subyektif. Misalnya kebanyakan orang menganggap bahwa tubuh yang indah adalah yang langsing, mulus, putih. Ketika muncul foto dengan obyek seorang wanita bertubuh gemuk dan telanjang, kemungkinan tidak menimbulkan birahi bagi yang melihat maka apakah foto tersebut bisa dianggap porno atau tidak? Mungkin bukan pornografi kalau ukurannya mengundang birahi atau tidak, tapi persoalannya gambar tersebut foto telanjang.
Lebih jelas dikatakan koreografer Rusdy Rukmarata, yang membedakan seni dengan porno adalah seni dapat membuat masyarakat terinspirasi, sedangkan porno tidak. Jika ketelanjangan dimaksudkan untuk mengungkapkan kepribadian agar orang bisa melihat performan orang itu tanpa hiasan, itulah ukuran seni. Dahulu pelukis membuat lukisan telanjang dan wanita yang gemuk dengan buah dada kecil, tetapi dilukis dengan pose tertentu sehingga muncul kepribadiannya. Hal ini menyadarkan semua orang bahwa sesuatu yang memiliki kepribadian dapat menimbulkan keindahan walaupun ukuran tubuhnya tidak ideal. Bandingkan dengan ketelanjangan di majalah playboy, misalnya. Kalau di majalah itu, hanya postur wanita tertentu saja yang bisa ditampilkan dan harus sesuai dengan zamannya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
- Dalam seni lukis dan seni patung terdapat jarak antara penikmat dan ketelanjangan yang ditampilkan. Maksudnya betapapun lukisan telanjang itu sangat mirip, sangat realistik, orang tetap menganggap itu sebagai dunia lain yang bukan bagian dari kenyataan. Berbeda dengan fotografi bahwa dalam sebuah karya foto tidak ada jarak antara penikmat dengan karya foto, karena foto dianggap sebagai bagian dari kenyataan.
- Pornografi muncul dalam pengertian ketika ia digandakan dan disebarluaskan, bukan substansinya.
- Pornografi harus diterjemahkan melalui pengadilan lewat keputusan hakim.
- Sejauhmana telanjang atau tidak itu disebut porno sangat subyektif tergantung pada motif orang yang melihat serta motif dari kreatornya.
- Yang membedakan seni dengan porno adalah seni dapat membuat masyarakat terinspirasi, sedangkan porno tidak.
Penutup
Menurut pengamat pers Atmakusumah Astraatmadja bahwa pornografi itu sudah ada sejak manusia ada. Hanya semakin banyak alat komunikasi massa, semakin semarak masalah pornografi. Rumusan pornografi juga tidak mudah karena berubah dari zaman ke zaman dan untuk mempertegas batasan-batasan pornografi, harus terus diadakan polemik atau perdebatan mengenai masalah itu. Sedangkan untuk mengontrol pornografi, menurut Direktur Eksekutif LPDS ini sebaiknya sistem distribusinya. Seperti juga di berbagai negara maju, biasanya hanya dijual di toko-toko tertentu, itupun di sudut tertentu yang letaknya juga di rak bagian atas yang tidak bisa dijangkau anak-anak. Kadang-kadang majalah porno tersebut ditutup dan direkat sehingga yang kelihatan hanya judul medianya saja. Kalau kita mengontrol pornografi dengan memberantas dan melarang terbit media porno itu, dia akan tetap bergerak di bawah tanah dan semakin sulit dikontrol Apalagi sistem hukum pers kita sebenarnya tidak mengatur pornografi karena masuk ke dalam KUHP, dan sebaiknya jangan di dalam undang-undang pers karena itu di luar bidang pers. Kalau ada umpamanya masyarakat tidak menyetujui yang disiarkan oleh pers, hal itu sudah ada aturannya, ada hak jawab, hak koreksi, bisa menuntut pers ke pengadilan, dan ada juga kode etik yang membatasi pekerjaan pers. Jelas kalau dalam kode etik jurnalistik, sangsi moral yang diterapkan, bisa dikritik dan dikecam baik oleh orang orang pers sendiri maupun oleh masyarakat. Tapi masalahnya apakah peraturan-peraturan yang ada sekarang ini bisa mengontrol merebaknya pornografi yang menghiasi peredaran media massa baru di tanah air?Menurut penjelasan kamus yang dinamakan pornografi pada intinya adalah segala hal yang berhubungan dengan seks yang meninggalkan unsur kesusilaan. Pada umumnya kita tidak akan mengalami kesulitan untuk menentukan apakah sesuatu itu berhubungan dengan seks atau tidak, tapi kita akan mengalami kesulitan ketika akan menafsirkan masalah kesusilaan karena lebih banyak yang tersirat dari pada yang tersurat.
Oleh karena itu akan selalu ada kekaburan mengenai batasan-batasan antara hal-hal yang meninggalkan unsur kesusilaan dengan yang tidak. Kalau kita akan menjabarkan analisis mengenai kriteria pornografi dari segi kesusilaan, menurut Atmadi (1985) yang terlarang bagi pers adalah pemuatan gambar/ tulisan:
- menimbulkan pikiran yang ceroboh
- menyinggung rasa susila meskipun ada unsur kemanfaatannya bagi kepentingan umum tetapi efek dominannya cenderung pada rangsangan seks dan tersinggungnya rasa susila
- expose tentang seks yang berlebih-lebihan
- ketelanjangan
- kegiatan seks seperti martubasi, homo seksual, sodomy, senggama dan lain-lain kegiatan yang menimbulkan ekresi
- uraian-uraian yang memberikan gambaran tentang cinta bebas
- lain-lain bentuk gambar/ tulisan yang cenderung kepada penarikan perhatian orang akan hal-hal yang akan dapat menimbulkan rasa malu, memuakkan, melanggar rasa kesopanan atau menyinggung rasa susila (Atmadi, 1985: )
Bagaimana dengan nude photography atau foto telanjang itu? Seperti disebutkan pada bagian terdahulu, foto telanjang dalam kacamata seni umumnya ketelanjangan itu tidak ditampilkan seronok. Sang model dalam foto telanjang masih menutupi bagian-bagian tubuhnya yang sangat vital. Atau kalau pun tidak, maka akan ditampilkan dengan efek-efek khusus pencahayaan (lighting) dalam foto, sehingga kesan vulgar dihilangkan. Model dalam nude photography tidak terbatas hanya pada model wanita, tapi model pria pun juga. Berbeda dengan foto telanjang yang bukan mengutamakan segi artistiknya. Sang model akan ditampilkan sangat erotis dan seronok, bahkan dapat mengundang birahi bagi yang melihat (baca: penikmatnya).
Namun demikian, sebenarnya yang menjadi ukuran apakah sebuah karya foto telanjang itu seni atau bukan, kita kembalikan pada diri kita sendiri, apakah kita sebagai penikmat nude photography sebagai seni atau hanya sebagai penikmat pornografi. Mudah-mudahan tulisan ini tidak menjadi bahan pertengkaran kita terhadap salah satu jenis karya foto.
Senin, 09 Juli 2012
Kamis, 26 April 2012
Senin, 23 April 2012
Merpati Race
Senin, 16 April 2012
Minggu, 11 Maret 2012
Jumat, 09 Maret 2012
Jumat, 02 Maret 2012
Minggu, 26 Februari 2012
Portrait of Poverty in Batam
Sabtu, 25 Februari 2012
Jumat, 24 Februari 2012
Consulate General of Republic of Indonesia in Malaysia, Deport 29 Indonesian Workers
One of the repatriated workers from Malaysia who took a baby aged less than one month will be taken to temporary shelters in Sekupang Dinsos Batam on Friday (24/2). Photos. M Noor Kanwa
Type text or a website address or translate a document.
BATAM - 29 Indonesian Workers (TKI) of Malaysia repatriated by the Consulate General of Republic of Indonesia (consulate) in Johor Bahru, Malaysia, through the Setulang Laut Port Malaysia, Friday (24/2) afternoon. They arrived at Batam Centre International Port at around 02.00 pm with the image of the ship riding Dumai Express II with an escort consulate officials.Two of 29 migrants who were returned are children aged less than one month and one elderly aged more than 60 years who are paralyzed. Others were 26 adult females and one male adult.
According to the Consulate General in Johor Bahru Malaysia officers who were guarding their status, Muchtar Madiekun, 29 migrant workers come to the consulate in Johor with a variety of reasons. "They're our capacity in advance at the consulate and after all business is completed, we sent home via Batam," said Muchtar at the International Port of Batam Centre.
The migrants, mostly from Java, the most complained about unpaid wages by the employer and there is also a pain. "Migrant workers sent home on this day no one was tortured or become victims of physical abuse by their employers," he said.
According to one of the workers who did not give his name, he was asked to return because it is no longer comfortable working in Malaysia. "I'm tired of working in Malaysia mas a domestic servant," he said.
According to the Social Service Task Force companion workers (Social Affairs) Batam, Febriana, while they will be accommodated in temporary shelters in Sekupang for the processing of their return to their hometown. "Furthermore, our data will reset the interest of the workers to return to their respective regions using Pelni ship on Wednesday of next week," he said.
Febriana said, regarding the repatriation of funds will be fully borne by the central government. While an ailing elderly workers will undergo treatment at the Hospital of the Batam Authority (RSOB) Sekupang Batam. "The pain will be treated to recover recently repatriated to their home areas," said Febriana.
Febriana also added that during 2012 was three times the Consulate General in Johor Bahru to repatriate migrants via Batam by the number of 57 workers.
Officers helped one elderly workers who are paralyzed when it arrived at Batam Centre International Port will then be taken to the Shelter staff Dinsos While Dinsos in Sekupang, Friday (24/2). Photos. M Noor Kanwa
29 workers who returned from Malaysia were taken using a lorry Social Services International Port of Batam Batam Centre to Shelter Dinsos While in Sekupang, Friday (24/2). Photo. M Noor Kanwa
Rabu, 15 Februari 2012
Jumat, 10 Februari 2012
Senin, 06 Februari 2012
Selasa, 31 Januari 2012
Mengenang Mad Kodak
Pada tanah kuburan yang kecoklatan, menerobos tegak nisan putih di antara hamparan warna-warni bunga makam. Rabu siang itu matahari amat menyengat. Pada bagian atas nisan yang baru dipancangkan itu terbaca nama Ed Zoelverdi bin Halim yang ditulis tangan dengan kuas dan cat hitam. Persis di bawahnya tertera Banda Aceh 12-03-1943 Jakarta 4-01-2012. Sebentuk periode perjalanan waktu seorang anak manusia yang mewarnai samudra jurnalisme fotografi Indonesia dengan gayanya, sampai maut menjemputnya pada usia 68 tahun. Di ranjang gering, di kediaman tetangga sekaligus sahabatnya, ibu Fatimah, yang meminjamkan ruang untuk perawatan Ed setelah sempat di rawat di RS Persahabatan.
Perkabungan baru saja usai. Satu persatu sejawat dan orang-orang tercinta pewarta foto kawakan tersebut berjalan gontai meninggalkan arena pemakaman di kawasan TPU Kemiri yang letaknya tak jauh dari areal golf Rawamangun. Suasana haru biru tertelan deru dan klakson kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Sekarang nisan bertuliskan nama Ed, tinggal sendirian di sana. Aroma minyak wangi yang amat menyengat hidung menyeruak dari kerumunan bunga-bunga makam yang tadi ditaburkan segenap pelayat. Pada tanah itu jasad Ed telah menyatu ke asalnya. Dari tanah kembali ke tanah. Jiwanya kini tenteram dalam keabadian, nun tinggi di ufuk cakrawala infiniti sana.
Pemakaman insan pers di usia senjanya, seringkali merefleksikan paradox profesi jurnalisme dalam wajahnya yang hakiki. Suatu profesi yang ditempuh dalam hingar realitas penuh warna dan gairah reportase yang menembus kelas juga strata, melintasi profesi yang ada dalam tatanan peradaban masyarakat. Dari penguasa negeri hingga kehidupan bawah tanah yang perih. Pers memang dilahirkan untuk mewartakan kehidupan, termasuk episoda kematian yang menjadi bagian dari rentang waktu yang bagaimanapun selalu ada ujungnya.
Tak pernah ada pesta yang tak usai. Dalam prosesi pemakaman, baik kuli tinta dan juga kuli citra seperti Ed, selalu ada "reuni" keluarga besar pers. Semacam silaturahmi di antara pelayat pers yang masih hidup, seraya menebak-nebak siapa lagi di antara mereka yang segera menyusul. Ujung senja profesi ini nyaris selalu miris, seperti cahya oncor yang terus meredup. Meskipun kita tahu kirana pantang padam, karena lorong jaman tak boleh dibiarkan gelap gulita. Dalam kerentanannya sekalipun, mestinya segenap organisasi profesi yang ada di tanah air wajib menghapus pemeo yang menyebutkan kematian wartawan hanya mewariskan derita bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Ed dalam karirnya di bidang fotografi jurnalistik jelas meletakkan pondasi visual bagi majalah Tempo yang diabdinya. Majalah berita yang berpengaruh dalam blantika pers nasional. Sebagai pribadi, Ed juga melengkapi karirnya dengan meluncurkan buku yang membuat kosa kata "Mat Kodak" menjadi sebutan lain untuk profesi pewarta foto. Buku fotografi jurnalistik, "Mat Kodak Melihat Untuk Sejuta Mata" (112 halaman) yang diterbitkan Grafitipers pada 1985 adalah tonggak baru dalam blantika jurnalisme visual setelah imaji-imaji sejarah dilakukan oleh Mendur Bersaudara dan IPPHOS menjadi pondasi awal fotografi jurnalistik modern Indonesia. Mat Kodak kemudian mengisi kelangkaan referensi kepustakaan foto jurnalistik pada jamannya, apalagi buku yang ditulis oleh anak negeri. Ed meluncurkan buku perdananya pada karir emasnya. Satu dekade berikutnya, Ed menjadi sumber utama fotografi jurnalistik di tanah air. Walau terkesan arogan, Ed adalah pribadi yang sangat terbuka pada generasi muda dalam membagi ilmunya.
Dalam bio di buku Mat Kodak dikisahkan, Ed adalah bungsu dari 10 bersaudara. Orangtuanya berasal dari Kotagadang, Bukittinggi. Sejak kecil dia telah tertarik dengan foto di suratkabar. Jadilah koran keluarga "Indonesia Raya" sebagai korbannya, karena Ed selalu memporandakannya dengan mengguntingnya untuk dijadikan kliping koleksi pribadi. Masih pada era 1950-an, Ed kecil mulai tertarik memindahkan citra foto di koran ke kertas dengan lilin, lalu pemberangusan "Indonesia Raya" dari tangan jahilnyapun terhenti.
Hijrah ke Jakarta. Ed lulus dari sekolah PSKD, sempat bekerja di Djakarta Lloyd 1962-1964, sebelum dia memutuskan menjadi pembantu lepas di sejumlah koran di Jakarta sejak 1965. Ed mulai masuk ke dunia pers sebagai ilustrator dan karikaturis (dia tertarik seni-lukis, sempat belajar pada Nashar dan Oesman Effendi) di harian Duta Revolusi, Djakarta Minggu dan di harian Kami. Di Kami, Ed mengembangkan karirnya sebagai penulis. Dengan alias Batara Odin dan Matoari, Ed mengasuh pojok khusus "Jangan Dilewatkan". Secara khusus Ed kemudian mulai berkenalan langsung dunia fotografi. Belajar otodidak. Kelak tulisannya di seputar fotografi pers muncul di Kompas, Sinar Harapan, Zaman, berkala Pers Indonesia dan tentu saja Tempo.
Di mingguan Tempo, Ed bergabung sejak janinnya di Senen, 1971. Dua tahun sebelumnya dia sempat menjadi fotografer kontrakan untuk dokumentasi acara-acara di PKJ TIM. Di Tempo Ed berkelana dari "desk" ke "desk". Pernah jadi Redaktur Foto, Redaktur Daerah-Kota, Pokok-Tokoh sebelum nangkring kembali sebagai Redaktur Foto. Kefasihannya menulis, kata Ed pada suatu ketika, dipoles oleh Goenawan Mohamad. Melalui bidangnya Ed sempat mengunjungi sejumlah negeri termasuk Jepang, Belgia, Belanda, Perancis, Ingris dan beberapa negara Asean. Ed adalah ikon fotografi jurnalistik kita.
Di usia senjanya - setelah sempat bergabung dengan majalah Gatra - sebagai redpel, Ed mulai fokus mengajar fotografi jurnalistik di FISIP UI. Dia lalu memutuskan untuk mengontrakkan rumahnya di bilangan Mirah Delima, Sumur Batu, dan menyewa rumah di Depok agar dekat dengan tempatnya mengajar di kampus UI. Sejak awal 2011, Ed tak lagi berani menyetir Mercy antiknya, karena matanya mulai rabun dan beberapa kali mengalami kecelakaan kecil karena faktor penglihatan itu. Setelah itu kesehatan Ed yang perokok berat itu mulai menurun. Dia dilarikan ke RS Persahabatan pada bulan Desember karena gangguan pernafasan yang akut. Majalah Gatra berkenan membiayai ongkos perawatan di sana. Sampai pada hari-hari ujungnya, saat dia kembali lagi ke kawasan Mirah Delima, kali ini di rumah Fatimah yang berbaik hati meminjamkannya. Di rumah sahabatnya itulah Ed mengikhlaskan jiwanya atas kehendak Ilahi. Dia beristirahat di tempat yang dikehendaki Tuhan, bukan di lokasi yang dicita-citakannya, di Bukittinggi, Sumbar, kampung halamannya. Tempat dimana dia ingin membangun museum fotografi sekaligus menikmati hari tuanya dengan bahagia.
oscar motuloh
pewarta foto Antara
Jumat, 27 Januari 2012
Clipper Round the World 11-12 Yacht Race
Clipper Round the World 11-12 Yacht Race kembali menyambangi Batam, Kamis (26/1). Clipper Round the World merupakan reli kapal layar keliling dunia yang akan melalui 16 pelabuhan di 14 negara termasuk Indonesia. Reli ini merupakan yang keempat kalinya diselenggarakan dan Batam tak pernah absen untuk disinggahi.
Even yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali ini diikuti 10 kapal layar tipe mono hull dengan panjang 68 feet dan setiap kapalnya diawaki 15 orang. kesepuluh kapal itu adalah Edinburgh Inspiring Capital, New York, Singapore, Welcome To Yorkshire, Visit Finland, Qingdao, Gold Coast Australia, geraldto Western Australia, De large Landen dan Derry-London Derry.
Sedangkan 16 pelabuhan yang akan dilewati adalah Southampton (Inggris), Madeira (Brazil), Rio De Jainero (Brazil), cape Town (Afrika Selatan), Geraldton (Australia), New Zealand, Gold Coast (Australia), Nongsa Point Marina Batam (Indonesia), Marina Keppel Bay (Singapura), Qingdao (Cina), California (AS), Panama, New York (AS), Nova Scotia (Kanada) Derry Londonderry (Irlandia) dan Belanda.
Nongsa Point Marina Batam (Indonesia) merupakan pelabuhan kedelapan yang disinggahi peserta reli setelah start dari Gold Coast, Australia. "Kapal yang pertama masuk Gold Coast Australia tanggal 23 kemarin," kata Asistent Marina Manager Dwi Hartana. Peserta reli akan kembali belayar Sabtu (28/1) dini hari menuju Marina Keppel Bay, Singapura.
Menurut Direktur Nongsa Point Marina & Resort, Dance Wongkaren, Clipper Round the World 11-12 Yacht Race ini menempuh perjalanan mengarungi samudra sejauh 40 ribu mil yang akan menghabiskan waktu selama 11 bulan. "Ini adalah reli kapal layar paling prestisius di dunia dan kami sangat bangga bisa sisinggahi para peserta reli," kata Dance.
Clipper round the World 11-12 ini mulai berlayar dan meninggalkan garis start pada bulan Agustus 2011 lalu, berangkat dari kota Southampton, Inggris dan akan finish di kota itu juga.
"Reli ini dibagi menjadi delapan etape dari garis start hingga mencapai garis finish dan Nongsa Point Marina masuk dalam etape keempat yaitu start dari Autralia Barat dan finish di New Zeland," kata Race Manager Justin Taylor dalam sambutannya di acara welcome Dinner dengan Dinas Pariwisata Kota Batam, Kamis (27/1) malam.
"Batam adalah pemberhentian pertama dari garis start di Australia Barat pada etape keempat ini," Tambah Justin. Reli ini sendiri dijadwalkan akan tiba di garis finish di Southampton, Inggris, pada pertengahan tahun.
Senin, 23 Januari 2012
Citra Idol
Sabtu, 21 Januari 2012
Jumat, 20 Januari 2012
Jemuran di Ruang Paripurna
Ruang Paripurna DPRD tak lagi menjadi tempat yang terhormat seperti di Ruang Paripurna lantai III DPRD Kota Batam yang dipenuhi dengan jemuran, Selasa (17/1). Puluhan pakaian setengah basah tersebut di jemur di kursi-kursi ruang paripurna. Anehnya, tak seorang pun dari pegawai DPRD yang mengetahui hal ini.
Dimanakan para pegawai yang bertugas melakukan pengawasan terhadap keadaan gedung DPRD? Apakah kerjaan mereka selama ini, sampai-sampai ada orang yang menjemur pakaian pun mereka tidak tahu.
Lemahnya pengawasan ini merupakan gambaran kinerja Sekretaris Dewan dan jajaran dibawahnya.
Dimanakan para pegawai yang bertugas melakukan pengawasan terhadap keadaan gedung DPRD? Apakah kerjaan mereka selama ini, sampai-sampai ada orang yang menjemur pakaian pun mereka tidak tahu.
Lemahnya pengawasan ini merupakan gambaran kinerja Sekretaris Dewan dan jajaran dibawahnya.
Kamis, 19 Januari 2012
MEMAHAMI FOTOGRAFI JURNALISTIK
By: M Noor Kanwa/Pewarta Foto Indonesia (PFI) Kepri
Fotografi menjadi sebuah dunia yang kian merakyat dan inklusif. Maraknya jejaring sosial di Internet yang semakin mudah diakses dari ponsel turut menunjang hal itu. Sebuah produk foto digital begitu cepat dan mudah disebarluaskan di kalangan khalayak, baik melalui Facebook, Twitter dan sosial media lainnya. Persis cara kerja dunia jurnalistik, bahkan terkadang lebih cepat penyebarannya.
Ketika masyarakat makin akrab dengan dunia fotografi digital, dimanakah posisi foto jurnalistik saat ini? Seperti apakah fotografi jurnalistik itu sebenarnya? Fotografi jurnalistik jelas berbeda dengan bidang fotografi lainnya. Ada beberapa elemen yang harus dipenuhi dalam sebuah foto untuk bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.
Sebuah karya foto bisa dikatakan memiliki nilai jurnalistik jika memenuhi syarat jurnalistik yaitu memenuhi kreteria 5 W dan I H (What, Who, Why, When, Where dan How). "What" atau apa yaitu peristiwa apa yang sedang terjadi. "Who" Siapa yang menjadi objek dalam peristiwa tersebut. "Why" kenapa, latar belakang atau penyebab terjadinya suatu peristiwa. "When" yaitu kapan peristiwa itu terjadi. "Where" adalah tempat dimana suatu peristiwa itu terjadi. dan "How" yaitu seperti apa proses terjadinya suatu peristiwa itu dan bagaimana penyelesaiannya.
Foto jurnalistik itu sendiri merupakan bagian dari dunia jurnalistik yang menggunakan bahasa visual untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dan tetap terikat kode etik jurnalistik. Dalam membuat foto jurnalistik bukan sekadar jeprat-jepret semata. Ada etika yang harus selalu dijunjung tinggi, ada pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan batasan yang tidak boleh dilanggar, dan ada momentum yang harus ditampilkan dalam sebuah frame.
Hal terpenting dari fotografi jurnalistik adalah nilai-nilai kejujuran yang selalu didasarkan pada fakta obyektif semata. Foto jurnalistik sebenarnya adalah karya foto "biasa" tetapi memiliki nilai berita atau pesan yang "layak" untuk diketahui orang banyak dan disebarluaskan lewat media massa.
Ada beragam definisi tentang foto jurnalistik (Inggris : photo journalism) yang disampaikan para pakar komunikasi dan praktisi jurnalistik. Namun secara garis besar, menurut Guru Besar Universitas Missouri, AS, Cliff Edom, foto jurnalistik adalah paduan antara gambar (foto) dan kata. Jadi, selain fotonya itu sendiri, foto jurnalistik juga harus didukung dengan kata-kata yang terangkum dalam kalimat yang disebut dengan teks foto / caption foto, dengan tujuan untuk menjelaskan gambar dan mengungkapkan pesan atau berita yang akan disampaikan ke publik. Jika tidak disertai teks foto maka sebuah foto hanyalah gambar yang bisa dilihat tanpa bisa diketahui apa informasi dibaliknya.
Dalam buku "Photojournalism, The Visual Approach" karya Frank P Hoy menyebutkan ada tiga jenjang yang baik sebagai basis atau dasar seseorang yang akan memilih berkecimpung menjadi wartawan foto, yaitu:
1. Snapshot (pemotretan sekejap), adalah pemotretan yang dilakukan dengan cepat karena melihat suatu momen atau aspek menarik. Pemotretan ini dilakukan dengan spontan dan reflek yang kuat. Jenjang pertama ini masih menyangkut pendekatan yang lebih pribadi.
2. Fotografi sebagai hobi. Dalam tahapan ini fotografer mulai menekankan faktor eksperimen dalam pemotretannya, tidak hanya sekedar melakukan snapshot saja. Dalam tahap ini biasanya fotografer mulai tertarik lebih jauh pada hal-hal yang menyangkut fotografi.
3. Art photography (fotografi seni), suatu jenjang yang lebih serius. Berbagai subyek pemotretan dilihat dengan interpretasi yang luas. Ekspresi subyektif terlihat dalam karya-karya pada tahapan ini. Kejelian, improvisasi, kreasi dan kepekaan terhadap subyek menjadi basis pada jenjang ini.
Akhirnya, pewarta foto berada pada tahap selanjutnya. Artinya dalam mengemban profesi tersebut, maka seorang pewarta foto dianjurkan menguasai dengan fasih ketiga jenjang yang telah disebut tadi.
Foto jurnalistik mempunyai daya jangkau yang sangat luas. Dia mampu menyusupi seluruh fase intelektual hidup kita, membawa pengaruh besar atas pemikiran dan pembentukan pendapat publik. Kerja seorang pewarta foto adalah titipan mata dari masyarakat di mana foto yang tersaji adalah benar-benar bersifat jujur dan adil.
Sesuai dengan sasaran yang esensial dari pekerjaan jurnalistik atau kewartawanan, yaitu membantu khalayak ramai mengembangkan sikap untuk menghargai apa yang dianggap baik, di samping merangsang kemauan untuk merubah apa yang dianggap kurang baik. Salah satu ciri yang dimiliki para juru foto koran adalah secepatnya disampaikan kehadapan para pembaca. Secepatnya berarti sesuai dengan sajian kehangatan peristiwa itu sendiri, sehingga betapa baiknya sebuah foto belumlah punya arti sebagai berita jika hanya disimpan dalam hard disc atau album.
Secara umum fotografi jurnalistik dibagi menjadi beberapa, yaitu:
1. Spot
Lazim juga disebut hot news (berita hangat) atau hard news (berita keras). Berita yang termasuk dalam kategori ini meliputi aneka peristiwa mendadak yang melukiskan sejarah masa kini dan berlangsung sepintas. Misalnya peristiwa huru-hara, bencana alam, kecelakaan dan berbagai kejadian alam serta manusia, yang menuntut kesigapan pewarta foto untuk menangkapnya dalam hitungan detik. Kunci sukses untuk liputan berita dalam kategori ini seorang pewarta foto harus berada tepat di pusat peristiwa pada saat yang tepat, sebab subyek foto jenis ini tidak pernah bisa disuruh menunggu kehadiran juru foto.
2. Feature
Ini masih berkaitan dengan sebuah berita spot, tetapi berbeda dalam segi penggarapannya. Satu contoh misalnya rumah terbakar, untuk sajian berita spot sudah dianggap layak jika sudah melukiskan kobaran api atau asap hitam yang membubung tinggi ke langit. Namun dalam pola kategori features, pembaca diajak merasakan emosi para korban, dengan menampilkan wajah manusia sementara situasi morat-marit sebagai latar belakang. Foto-foto dalam kategori ini bukan sekedar jepretan sepintas (snapshot), tetapi ada upaya pewarta foto untuk memilih sudut pandang yang khas.
3. Olah raga
Perbendaharaan pengetahuan untuk tiap cabang permainan amat menentukan sukses tidaknya membuat foto pada kategori ini. Kreatifitas sang pewarta foto selalu diuji oleh keadaan atau peristiwanya. Cara menangkap momen penting disini juga patut disimak, apakah mampu memberikan sensasi tersendiri ataukah hanya mengulang peristiwa yang pernah ada. Orisinalitas sudat pandang didalam foto kategori ini layak dihargai sama pentingnya dengan bahan liputannya itu sendiri.
4. Potret
Pengertian potret (Potrait) dalam foto jurnalistik bukan melulu berupa close Up yang mampu menampilkan karakteristik dan suasana hati sang subyek terkenal. Paling utama adalah keunggulan pengungkapan kreatif dari watak seorang tokoh, hingga seakan-akan merupakan sebuah biografi visual. Hal ini dapat disajikan dalam bentuk Close Up atau ditengah suatu situasi atau kegiatan tertentu.
5. Fesyen (Fashion)
Dalam kajian berita Fashion, ada dua kegiatan yang harus diliput oleh pewarta foto yaitu kegiatan pentas dan kegiatan studio. Kedua bentuk kegiatan itu penanganan fotografisnya adalah serba khas. Kegiatan pentas atau panggung menuntut keunggulan pewarta foto untuk mengabadikan dalam tempo terbatas tanpa dipengaruhi unsur-unsur lain. Sedangkan kegiatan studio, seorang pewarta foto harus terlibat kerja sama dengan perias wajah atau penata artistic serta pihak lain yang menunjang suksesnya penyajian subyek foto tersebut.
6. Pariwisata
Pemberitaan Foto dari kategori ini adalah mengangkat kegiatan di sekitar obyek wisata. Pemberitaan semacam ini yang terpenting adalah mengandung nilai informasi bagi publik awam, baik mengenai tempat dengan suasana yang unik maupun mengenai bentuk adat serta budaya lokal yang menambah pengetahuan pembaca di daerah lain.
7. Celah Kehidupan
Berita dalam kategori ini boleh dikatakan lumrah meskipun tanpa terikat syarat unsur kehangatan (hot news). Yang diutamakan pada foto dalam kategori ini adalah segi keunikan subyeknya. Di negeri kita tercinta ini sasaran fotografi mengenai subyek semacam ini boleh dibilang melimpah. Selalu ada bahannya, asal saja sang pewarta foto jeli mengamatinya sehingga nantinya akan tercipta foto yang amat menarik.
Fotografi menjadi sebuah dunia yang kian merakyat dan inklusif. Maraknya jejaring sosial di Internet yang semakin mudah diakses dari ponsel turut menunjang hal itu. Sebuah produk foto digital begitu cepat dan mudah disebarluaskan di kalangan khalayak, baik melalui Facebook, Twitter dan sosial media lainnya. Persis cara kerja dunia jurnalistik, bahkan terkadang lebih cepat penyebarannya.
Ketika masyarakat makin akrab dengan dunia fotografi digital, dimanakah posisi foto jurnalistik saat ini? Seperti apakah fotografi jurnalistik itu sebenarnya? Fotografi jurnalistik jelas berbeda dengan bidang fotografi lainnya. Ada beberapa elemen yang harus dipenuhi dalam sebuah foto untuk bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.
Sebuah karya foto bisa dikatakan memiliki nilai jurnalistik jika memenuhi syarat jurnalistik yaitu memenuhi kreteria 5 W dan I H (What, Who, Why, When, Where dan How). "What" atau apa yaitu peristiwa apa yang sedang terjadi. "Who" Siapa yang menjadi objek dalam peristiwa tersebut. "Why" kenapa, latar belakang atau penyebab terjadinya suatu peristiwa. "When" yaitu kapan peristiwa itu terjadi. "Where" adalah tempat dimana suatu peristiwa itu terjadi. dan "How" yaitu seperti apa proses terjadinya suatu peristiwa itu dan bagaimana penyelesaiannya.
Foto jurnalistik itu sendiri merupakan bagian dari dunia jurnalistik yang menggunakan bahasa visual untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dan tetap terikat kode etik jurnalistik. Dalam membuat foto jurnalistik bukan sekadar jeprat-jepret semata. Ada etika yang harus selalu dijunjung tinggi, ada pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan batasan yang tidak boleh dilanggar, dan ada momentum yang harus ditampilkan dalam sebuah frame.
Hal terpenting dari fotografi jurnalistik adalah nilai-nilai kejujuran yang selalu didasarkan pada fakta obyektif semata. Foto jurnalistik sebenarnya adalah karya foto "biasa" tetapi memiliki nilai berita atau pesan yang "layak" untuk diketahui orang banyak dan disebarluaskan lewat media massa.
Ada beragam definisi tentang foto jurnalistik (Inggris : photo journalism) yang disampaikan para pakar komunikasi dan praktisi jurnalistik. Namun secara garis besar, menurut Guru Besar Universitas Missouri, AS, Cliff Edom, foto jurnalistik adalah paduan antara gambar (foto) dan kata. Jadi, selain fotonya itu sendiri, foto jurnalistik juga harus didukung dengan kata-kata yang terangkum dalam kalimat yang disebut dengan teks foto / caption foto, dengan tujuan untuk menjelaskan gambar dan mengungkapkan pesan atau berita yang akan disampaikan ke publik. Jika tidak disertai teks foto maka sebuah foto hanyalah gambar yang bisa dilihat tanpa bisa diketahui apa informasi dibaliknya.
Dalam buku "Photojournalism, The Visual Approach" karya Frank P Hoy menyebutkan ada tiga jenjang yang baik sebagai basis atau dasar seseorang yang akan memilih berkecimpung menjadi wartawan foto, yaitu:
1. Snapshot (pemotretan sekejap), adalah pemotretan yang dilakukan dengan cepat karena melihat suatu momen atau aspek menarik. Pemotretan ini dilakukan dengan spontan dan reflek yang kuat. Jenjang pertama ini masih menyangkut pendekatan yang lebih pribadi.
2. Fotografi sebagai hobi. Dalam tahapan ini fotografer mulai menekankan faktor eksperimen dalam pemotretannya, tidak hanya sekedar melakukan snapshot saja. Dalam tahap ini biasanya fotografer mulai tertarik lebih jauh pada hal-hal yang menyangkut fotografi.
3. Art photography (fotografi seni), suatu jenjang yang lebih serius. Berbagai subyek pemotretan dilihat dengan interpretasi yang luas. Ekspresi subyektif terlihat dalam karya-karya pada tahapan ini. Kejelian, improvisasi, kreasi dan kepekaan terhadap subyek menjadi basis pada jenjang ini.
Akhirnya, pewarta foto berada pada tahap selanjutnya. Artinya dalam mengemban profesi tersebut, maka seorang pewarta foto dianjurkan menguasai dengan fasih ketiga jenjang yang telah disebut tadi.
Foto jurnalistik mempunyai daya jangkau yang sangat luas. Dia mampu menyusupi seluruh fase intelektual hidup kita, membawa pengaruh besar atas pemikiran dan pembentukan pendapat publik. Kerja seorang pewarta foto adalah titipan mata dari masyarakat di mana foto yang tersaji adalah benar-benar bersifat jujur dan adil.
Sesuai dengan sasaran yang esensial dari pekerjaan jurnalistik atau kewartawanan, yaitu membantu khalayak ramai mengembangkan sikap untuk menghargai apa yang dianggap baik, di samping merangsang kemauan untuk merubah apa yang dianggap kurang baik. Salah satu ciri yang dimiliki para juru foto koran adalah secepatnya disampaikan kehadapan para pembaca. Secepatnya berarti sesuai dengan sajian kehangatan peristiwa itu sendiri, sehingga betapa baiknya sebuah foto belumlah punya arti sebagai berita jika hanya disimpan dalam hard disc atau album.
Secara umum fotografi jurnalistik dibagi menjadi beberapa, yaitu:
1. Spot
Lazim juga disebut hot news (berita hangat) atau hard news (berita keras). Berita yang termasuk dalam kategori ini meliputi aneka peristiwa mendadak yang melukiskan sejarah masa kini dan berlangsung sepintas. Misalnya peristiwa huru-hara, bencana alam, kecelakaan dan berbagai kejadian alam serta manusia, yang menuntut kesigapan pewarta foto untuk menangkapnya dalam hitungan detik. Kunci sukses untuk liputan berita dalam kategori ini seorang pewarta foto harus berada tepat di pusat peristiwa pada saat yang tepat, sebab subyek foto jenis ini tidak pernah bisa disuruh menunggu kehadiran juru foto.
2. Feature
Ini masih berkaitan dengan sebuah berita spot, tetapi berbeda dalam segi penggarapannya. Satu contoh misalnya rumah terbakar, untuk sajian berita spot sudah dianggap layak jika sudah melukiskan kobaran api atau asap hitam yang membubung tinggi ke langit. Namun dalam pola kategori features, pembaca diajak merasakan emosi para korban, dengan menampilkan wajah manusia sementara situasi morat-marit sebagai latar belakang. Foto-foto dalam kategori ini bukan sekedar jepretan sepintas (snapshot), tetapi ada upaya pewarta foto untuk memilih sudut pandang yang khas.
3. Olah raga
Perbendaharaan pengetahuan untuk tiap cabang permainan amat menentukan sukses tidaknya membuat foto pada kategori ini. Kreatifitas sang pewarta foto selalu diuji oleh keadaan atau peristiwanya. Cara menangkap momen penting disini juga patut disimak, apakah mampu memberikan sensasi tersendiri ataukah hanya mengulang peristiwa yang pernah ada. Orisinalitas sudat pandang didalam foto kategori ini layak dihargai sama pentingnya dengan bahan liputannya itu sendiri.
4. Potret
Pengertian potret (Potrait) dalam foto jurnalistik bukan melulu berupa close Up yang mampu menampilkan karakteristik dan suasana hati sang subyek terkenal. Paling utama adalah keunggulan pengungkapan kreatif dari watak seorang tokoh, hingga seakan-akan merupakan sebuah biografi visual. Hal ini dapat disajikan dalam bentuk Close Up atau ditengah suatu situasi atau kegiatan tertentu.
5. Fesyen (Fashion)
Dalam kajian berita Fashion, ada dua kegiatan yang harus diliput oleh pewarta foto yaitu kegiatan pentas dan kegiatan studio. Kedua bentuk kegiatan itu penanganan fotografisnya adalah serba khas. Kegiatan pentas atau panggung menuntut keunggulan pewarta foto untuk mengabadikan dalam tempo terbatas tanpa dipengaruhi unsur-unsur lain. Sedangkan kegiatan studio, seorang pewarta foto harus terlibat kerja sama dengan perias wajah atau penata artistic serta pihak lain yang menunjang suksesnya penyajian subyek foto tersebut.
6. Pariwisata
Pemberitaan Foto dari kategori ini adalah mengangkat kegiatan di sekitar obyek wisata. Pemberitaan semacam ini yang terpenting adalah mengandung nilai informasi bagi publik awam, baik mengenai tempat dengan suasana yang unik maupun mengenai bentuk adat serta budaya lokal yang menambah pengetahuan pembaca di daerah lain.
7. Celah Kehidupan
Berita dalam kategori ini boleh dikatakan lumrah meskipun tanpa terikat syarat unsur kehangatan (hot news). Yang diutamakan pada foto dalam kategori ini adalah segi keunikan subyeknya. Di negeri kita tercinta ini sasaran fotografi mengenai subyek semacam ini boleh dibilang melimpah. Selalu ada bahannya, asal saja sang pewarta foto jeli mengamatinya sehingga nantinya akan tercipta foto yang amat menarik.
Jumat, 13 Januari 2012
Aktivitas Senja di Pantai Stres
Langganan:
Postingan (Atom)