Selasa, 31 Januari 2012
Mengenang Mad Kodak
Pada tanah kuburan yang kecoklatan, menerobos tegak nisan putih di antara hamparan warna-warni bunga makam. Rabu siang itu matahari amat menyengat. Pada bagian atas nisan yang baru dipancangkan itu terbaca nama Ed Zoelverdi bin Halim yang ditulis tangan dengan kuas dan cat hitam. Persis di bawahnya tertera Banda Aceh 12-03-1943 Jakarta 4-01-2012. Sebentuk periode perjalanan waktu seorang anak manusia yang mewarnai samudra jurnalisme fotografi Indonesia dengan gayanya, sampai maut menjemputnya pada usia 68 tahun. Di ranjang gering, di kediaman tetangga sekaligus sahabatnya, ibu Fatimah, yang meminjamkan ruang untuk perawatan Ed setelah sempat di rawat di RS Persahabatan.
Perkabungan baru saja usai. Satu persatu sejawat dan orang-orang tercinta pewarta foto kawakan tersebut berjalan gontai meninggalkan arena pemakaman di kawasan TPU Kemiri yang letaknya tak jauh dari areal golf Rawamangun. Suasana haru biru tertelan deru dan klakson kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Sekarang nisan bertuliskan nama Ed, tinggal sendirian di sana. Aroma minyak wangi yang amat menyengat hidung menyeruak dari kerumunan bunga-bunga makam yang tadi ditaburkan segenap pelayat. Pada tanah itu jasad Ed telah menyatu ke asalnya. Dari tanah kembali ke tanah. Jiwanya kini tenteram dalam keabadian, nun tinggi di ufuk cakrawala infiniti sana.
Pemakaman insan pers di usia senjanya, seringkali merefleksikan paradox profesi jurnalisme dalam wajahnya yang hakiki. Suatu profesi yang ditempuh dalam hingar realitas penuh warna dan gairah reportase yang menembus kelas juga strata, melintasi profesi yang ada dalam tatanan peradaban masyarakat. Dari penguasa negeri hingga kehidupan bawah tanah yang perih. Pers memang dilahirkan untuk mewartakan kehidupan, termasuk episoda kematian yang menjadi bagian dari rentang waktu yang bagaimanapun selalu ada ujungnya.
Tak pernah ada pesta yang tak usai. Dalam prosesi pemakaman, baik kuli tinta dan juga kuli citra seperti Ed, selalu ada "reuni" keluarga besar pers. Semacam silaturahmi di antara pelayat pers yang masih hidup, seraya menebak-nebak siapa lagi di antara mereka yang segera menyusul. Ujung senja profesi ini nyaris selalu miris, seperti cahya oncor yang terus meredup. Meskipun kita tahu kirana pantang padam, karena lorong jaman tak boleh dibiarkan gelap gulita. Dalam kerentanannya sekalipun, mestinya segenap organisasi profesi yang ada di tanah air wajib menghapus pemeo yang menyebutkan kematian wartawan hanya mewariskan derita bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Ed dalam karirnya di bidang fotografi jurnalistik jelas meletakkan pondasi visual bagi majalah Tempo yang diabdinya. Majalah berita yang berpengaruh dalam blantika pers nasional. Sebagai pribadi, Ed juga melengkapi karirnya dengan meluncurkan buku yang membuat kosa kata "Mat Kodak" menjadi sebutan lain untuk profesi pewarta foto. Buku fotografi jurnalistik, "Mat Kodak Melihat Untuk Sejuta Mata" (112 halaman) yang diterbitkan Grafitipers pada 1985 adalah tonggak baru dalam blantika jurnalisme visual setelah imaji-imaji sejarah dilakukan oleh Mendur Bersaudara dan IPPHOS menjadi pondasi awal fotografi jurnalistik modern Indonesia. Mat Kodak kemudian mengisi kelangkaan referensi kepustakaan foto jurnalistik pada jamannya, apalagi buku yang ditulis oleh anak negeri. Ed meluncurkan buku perdananya pada karir emasnya. Satu dekade berikutnya, Ed menjadi sumber utama fotografi jurnalistik di tanah air. Walau terkesan arogan, Ed adalah pribadi yang sangat terbuka pada generasi muda dalam membagi ilmunya.
Dalam bio di buku Mat Kodak dikisahkan, Ed adalah bungsu dari 10 bersaudara. Orangtuanya berasal dari Kotagadang, Bukittinggi. Sejak kecil dia telah tertarik dengan foto di suratkabar. Jadilah koran keluarga "Indonesia Raya" sebagai korbannya, karena Ed selalu memporandakannya dengan mengguntingnya untuk dijadikan kliping koleksi pribadi. Masih pada era 1950-an, Ed kecil mulai tertarik memindahkan citra foto di koran ke kertas dengan lilin, lalu pemberangusan "Indonesia Raya" dari tangan jahilnyapun terhenti.
Hijrah ke Jakarta. Ed lulus dari sekolah PSKD, sempat bekerja di Djakarta Lloyd 1962-1964, sebelum dia memutuskan menjadi pembantu lepas di sejumlah koran di Jakarta sejak 1965. Ed mulai masuk ke dunia pers sebagai ilustrator dan karikaturis (dia tertarik seni-lukis, sempat belajar pada Nashar dan Oesman Effendi) di harian Duta Revolusi, Djakarta Minggu dan di harian Kami. Di Kami, Ed mengembangkan karirnya sebagai penulis. Dengan alias Batara Odin dan Matoari, Ed mengasuh pojok khusus "Jangan Dilewatkan". Secara khusus Ed kemudian mulai berkenalan langsung dunia fotografi. Belajar otodidak. Kelak tulisannya di seputar fotografi pers muncul di Kompas, Sinar Harapan, Zaman, berkala Pers Indonesia dan tentu saja Tempo.
Di mingguan Tempo, Ed bergabung sejak janinnya di Senen, 1971. Dua tahun sebelumnya dia sempat menjadi fotografer kontrakan untuk dokumentasi acara-acara di PKJ TIM. Di Tempo Ed berkelana dari "desk" ke "desk". Pernah jadi Redaktur Foto, Redaktur Daerah-Kota, Pokok-Tokoh sebelum nangkring kembali sebagai Redaktur Foto. Kefasihannya menulis, kata Ed pada suatu ketika, dipoles oleh Goenawan Mohamad. Melalui bidangnya Ed sempat mengunjungi sejumlah negeri termasuk Jepang, Belgia, Belanda, Perancis, Ingris dan beberapa negara Asean. Ed adalah ikon fotografi jurnalistik kita.
Di usia senjanya - setelah sempat bergabung dengan majalah Gatra - sebagai redpel, Ed mulai fokus mengajar fotografi jurnalistik di FISIP UI. Dia lalu memutuskan untuk mengontrakkan rumahnya di bilangan Mirah Delima, Sumur Batu, dan menyewa rumah di Depok agar dekat dengan tempatnya mengajar di kampus UI. Sejak awal 2011, Ed tak lagi berani menyetir Mercy antiknya, karena matanya mulai rabun dan beberapa kali mengalami kecelakaan kecil karena faktor penglihatan itu. Setelah itu kesehatan Ed yang perokok berat itu mulai menurun. Dia dilarikan ke RS Persahabatan pada bulan Desember karena gangguan pernafasan yang akut. Majalah Gatra berkenan membiayai ongkos perawatan di sana. Sampai pada hari-hari ujungnya, saat dia kembali lagi ke kawasan Mirah Delima, kali ini di rumah Fatimah yang berbaik hati meminjamkannya. Di rumah sahabatnya itulah Ed mengikhlaskan jiwanya atas kehendak Ilahi. Dia beristirahat di tempat yang dikehendaki Tuhan, bukan di lokasi yang dicita-citakannya, di Bukittinggi, Sumbar, kampung halamannya. Tempat dimana dia ingin membangun museum fotografi sekaligus menikmati hari tuanya dengan bahagia.
oscar motuloh
pewarta foto Antara
Jumat, 27 Januari 2012
Clipper Round the World 11-12 Yacht Race
Clipper Round the World 11-12 Yacht Race kembali menyambangi Batam, Kamis (26/1). Clipper Round the World merupakan reli kapal layar keliling dunia yang akan melalui 16 pelabuhan di 14 negara termasuk Indonesia. Reli ini merupakan yang keempat kalinya diselenggarakan dan Batam tak pernah absen untuk disinggahi.
Even yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali ini diikuti 10 kapal layar tipe mono hull dengan panjang 68 feet dan setiap kapalnya diawaki 15 orang. kesepuluh kapal itu adalah Edinburgh Inspiring Capital, New York, Singapore, Welcome To Yorkshire, Visit Finland, Qingdao, Gold Coast Australia, geraldto Western Australia, De large Landen dan Derry-London Derry.
Sedangkan 16 pelabuhan yang akan dilewati adalah Southampton (Inggris), Madeira (Brazil), Rio De Jainero (Brazil), cape Town (Afrika Selatan), Geraldton (Australia), New Zealand, Gold Coast (Australia), Nongsa Point Marina Batam (Indonesia), Marina Keppel Bay (Singapura), Qingdao (Cina), California (AS), Panama, New York (AS), Nova Scotia (Kanada) Derry Londonderry (Irlandia) dan Belanda.
Nongsa Point Marina Batam (Indonesia) merupakan pelabuhan kedelapan yang disinggahi peserta reli setelah start dari Gold Coast, Australia. "Kapal yang pertama masuk Gold Coast Australia tanggal 23 kemarin," kata Asistent Marina Manager Dwi Hartana. Peserta reli akan kembali belayar Sabtu (28/1) dini hari menuju Marina Keppel Bay, Singapura.
Menurut Direktur Nongsa Point Marina & Resort, Dance Wongkaren, Clipper Round the World 11-12 Yacht Race ini menempuh perjalanan mengarungi samudra sejauh 40 ribu mil yang akan menghabiskan waktu selama 11 bulan. "Ini adalah reli kapal layar paling prestisius di dunia dan kami sangat bangga bisa sisinggahi para peserta reli," kata Dance.
Clipper round the World 11-12 ini mulai berlayar dan meninggalkan garis start pada bulan Agustus 2011 lalu, berangkat dari kota Southampton, Inggris dan akan finish di kota itu juga.
"Reli ini dibagi menjadi delapan etape dari garis start hingga mencapai garis finish dan Nongsa Point Marina masuk dalam etape keempat yaitu start dari Autralia Barat dan finish di New Zeland," kata Race Manager Justin Taylor dalam sambutannya di acara welcome Dinner dengan Dinas Pariwisata Kota Batam, Kamis (27/1) malam.
"Batam adalah pemberhentian pertama dari garis start di Australia Barat pada etape keempat ini," Tambah Justin. Reli ini sendiri dijadwalkan akan tiba di garis finish di Southampton, Inggris, pada pertengahan tahun.
Senin, 23 Januari 2012
Citra Idol
Sabtu, 21 Januari 2012
Jumat, 20 Januari 2012
Jemuran di Ruang Paripurna
Ruang Paripurna DPRD tak lagi menjadi tempat yang terhormat seperti di Ruang Paripurna lantai III DPRD Kota Batam yang dipenuhi dengan jemuran, Selasa (17/1). Puluhan pakaian setengah basah tersebut di jemur di kursi-kursi ruang paripurna. Anehnya, tak seorang pun dari pegawai DPRD yang mengetahui hal ini.
Dimanakan para pegawai yang bertugas melakukan pengawasan terhadap keadaan gedung DPRD? Apakah kerjaan mereka selama ini, sampai-sampai ada orang yang menjemur pakaian pun mereka tidak tahu.
Lemahnya pengawasan ini merupakan gambaran kinerja Sekretaris Dewan dan jajaran dibawahnya.
Dimanakan para pegawai yang bertugas melakukan pengawasan terhadap keadaan gedung DPRD? Apakah kerjaan mereka selama ini, sampai-sampai ada orang yang menjemur pakaian pun mereka tidak tahu.
Lemahnya pengawasan ini merupakan gambaran kinerja Sekretaris Dewan dan jajaran dibawahnya.
Kamis, 19 Januari 2012
MEMAHAMI FOTOGRAFI JURNALISTIK
By: M Noor Kanwa/Pewarta Foto Indonesia (PFI) Kepri
Fotografi menjadi sebuah dunia yang kian merakyat dan inklusif. Maraknya jejaring sosial di Internet yang semakin mudah diakses dari ponsel turut menunjang hal itu. Sebuah produk foto digital begitu cepat dan mudah disebarluaskan di kalangan khalayak, baik melalui Facebook, Twitter dan sosial media lainnya. Persis cara kerja dunia jurnalistik, bahkan terkadang lebih cepat penyebarannya.
Ketika masyarakat makin akrab dengan dunia fotografi digital, dimanakah posisi foto jurnalistik saat ini? Seperti apakah fotografi jurnalistik itu sebenarnya? Fotografi jurnalistik jelas berbeda dengan bidang fotografi lainnya. Ada beberapa elemen yang harus dipenuhi dalam sebuah foto untuk bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.
Sebuah karya foto bisa dikatakan memiliki nilai jurnalistik jika memenuhi syarat jurnalistik yaitu memenuhi kreteria 5 W dan I H (What, Who, Why, When, Where dan How). "What" atau apa yaitu peristiwa apa yang sedang terjadi. "Who" Siapa yang menjadi objek dalam peristiwa tersebut. "Why" kenapa, latar belakang atau penyebab terjadinya suatu peristiwa. "When" yaitu kapan peristiwa itu terjadi. "Where" adalah tempat dimana suatu peristiwa itu terjadi. dan "How" yaitu seperti apa proses terjadinya suatu peristiwa itu dan bagaimana penyelesaiannya.
Foto jurnalistik itu sendiri merupakan bagian dari dunia jurnalistik yang menggunakan bahasa visual untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dan tetap terikat kode etik jurnalistik. Dalam membuat foto jurnalistik bukan sekadar jeprat-jepret semata. Ada etika yang harus selalu dijunjung tinggi, ada pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan batasan yang tidak boleh dilanggar, dan ada momentum yang harus ditampilkan dalam sebuah frame.
Hal terpenting dari fotografi jurnalistik adalah nilai-nilai kejujuran yang selalu didasarkan pada fakta obyektif semata. Foto jurnalistik sebenarnya adalah karya foto "biasa" tetapi memiliki nilai berita atau pesan yang "layak" untuk diketahui orang banyak dan disebarluaskan lewat media massa.
Ada beragam definisi tentang foto jurnalistik (Inggris : photo journalism) yang disampaikan para pakar komunikasi dan praktisi jurnalistik. Namun secara garis besar, menurut Guru Besar Universitas Missouri, AS, Cliff Edom, foto jurnalistik adalah paduan antara gambar (foto) dan kata. Jadi, selain fotonya itu sendiri, foto jurnalistik juga harus didukung dengan kata-kata yang terangkum dalam kalimat yang disebut dengan teks foto / caption foto, dengan tujuan untuk menjelaskan gambar dan mengungkapkan pesan atau berita yang akan disampaikan ke publik. Jika tidak disertai teks foto maka sebuah foto hanyalah gambar yang bisa dilihat tanpa bisa diketahui apa informasi dibaliknya.
Dalam buku "Photojournalism, The Visual Approach" karya Frank P Hoy menyebutkan ada tiga jenjang yang baik sebagai basis atau dasar seseorang yang akan memilih berkecimpung menjadi wartawan foto, yaitu:
1. Snapshot (pemotretan sekejap), adalah pemotretan yang dilakukan dengan cepat karena melihat suatu momen atau aspek menarik. Pemotretan ini dilakukan dengan spontan dan reflek yang kuat. Jenjang pertama ini masih menyangkut pendekatan yang lebih pribadi.
2. Fotografi sebagai hobi. Dalam tahapan ini fotografer mulai menekankan faktor eksperimen dalam pemotretannya, tidak hanya sekedar melakukan snapshot saja. Dalam tahap ini biasanya fotografer mulai tertarik lebih jauh pada hal-hal yang menyangkut fotografi.
3. Art photography (fotografi seni), suatu jenjang yang lebih serius. Berbagai subyek pemotretan dilihat dengan interpretasi yang luas. Ekspresi subyektif terlihat dalam karya-karya pada tahapan ini. Kejelian, improvisasi, kreasi dan kepekaan terhadap subyek menjadi basis pada jenjang ini.
Akhirnya, pewarta foto berada pada tahap selanjutnya. Artinya dalam mengemban profesi tersebut, maka seorang pewarta foto dianjurkan menguasai dengan fasih ketiga jenjang yang telah disebut tadi.
Foto jurnalistik mempunyai daya jangkau yang sangat luas. Dia mampu menyusupi seluruh fase intelektual hidup kita, membawa pengaruh besar atas pemikiran dan pembentukan pendapat publik. Kerja seorang pewarta foto adalah titipan mata dari masyarakat di mana foto yang tersaji adalah benar-benar bersifat jujur dan adil.
Sesuai dengan sasaran yang esensial dari pekerjaan jurnalistik atau kewartawanan, yaitu membantu khalayak ramai mengembangkan sikap untuk menghargai apa yang dianggap baik, di samping merangsang kemauan untuk merubah apa yang dianggap kurang baik. Salah satu ciri yang dimiliki para juru foto koran adalah secepatnya disampaikan kehadapan para pembaca. Secepatnya berarti sesuai dengan sajian kehangatan peristiwa itu sendiri, sehingga betapa baiknya sebuah foto belumlah punya arti sebagai berita jika hanya disimpan dalam hard disc atau album.
Secara umum fotografi jurnalistik dibagi menjadi beberapa, yaitu:
1. Spot
Lazim juga disebut hot news (berita hangat) atau hard news (berita keras). Berita yang termasuk dalam kategori ini meliputi aneka peristiwa mendadak yang melukiskan sejarah masa kini dan berlangsung sepintas. Misalnya peristiwa huru-hara, bencana alam, kecelakaan dan berbagai kejadian alam serta manusia, yang menuntut kesigapan pewarta foto untuk menangkapnya dalam hitungan detik. Kunci sukses untuk liputan berita dalam kategori ini seorang pewarta foto harus berada tepat di pusat peristiwa pada saat yang tepat, sebab subyek foto jenis ini tidak pernah bisa disuruh menunggu kehadiran juru foto.
2. Feature
Ini masih berkaitan dengan sebuah berita spot, tetapi berbeda dalam segi penggarapannya. Satu contoh misalnya rumah terbakar, untuk sajian berita spot sudah dianggap layak jika sudah melukiskan kobaran api atau asap hitam yang membubung tinggi ke langit. Namun dalam pola kategori features, pembaca diajak merasakan emosi para korban, dengan menampilkan wajah manusia sementara situasi morat-marit sebagai latar belakang. Foto-foto dalam kategori ini bukan sekedar jepretan sepintas (snapshot), tetapi ada upaya pewarta foto untuk memilih sudut pandang yang khas.
3. Olah raga
Perbendaharaan pengetahuan untuk tiap cabang permainan amat menentukan sukses tidaknya membuat foto pada kategori ini. Kreatifitas sang pewarta foto selalu diuji oleh keadaan atau peristiwanya. Cara menangkap momen penting disini juga patut disimak, apakah mampu memberikan sensasi tersendiri ataukah hanya mengulang peristiwa yang pernah ada. Orisinalitas sudat pandang didalam foto kategori ini layak dihargai sama pentingnya dengan bahan liputannya itu sendiri.
4. Potret
Pengertian potret (Potrait) dalam foto jurnalistik bukan melulu berupa close Up yang mampu menampilkan karakteristik dan suasana hati sang subyek terkenal. Paling utama adalah keunggulan pengungkapan kreatif dari watak seorang tokoh, hingga seakan-akan merupakan sebuah biografi visual. Hal ini dapat disajikan dalam bentuk Close Up atau ditengah suatu situasi atau kegiatan tertentu.
5. Fesyen (Fashion)
Dalam kajian berita Fashion, ada dua kegiatan yang harus diliput oleh pewarta foto yaitu kegiatan pentas dan kegiatan studio. Kedua bentuk kegiatan itu penanganan fotografisnya adalah serba khas. Kegiatan pentas atau panggung menuntut keunggulan pewarta foto untuk mengabadikan dalam tempo terbatas tanpa dipengaruhi unsur-unsur lain. Sedangkan kegiatan studio, seorang pewarta foto harus terlibat kerja sama dengan perias wajah atau penata artistic serta pihak lain yang menunjang suksesnya penyajian subyek foto tersebut.
6. Pariwisata
Pemberitaan Foto dari kategori ini adalah mengangkat kegiatan di sekitar obyek wisata. Pemberitaan semacam ini yang terpenting adalah mengandung nilai informasi bagi publik awam, baik mengenai tempat dengan suasana yang unik maupun mengenai bentuk adat serta budaya lokal yang menambah pengetahuan pembaca di daerah lain.
7. Celah Kehidupan
Berita dalam kategori ini boleh dikatakan lumrah meskipun tanpa terikat syarat unsur kehangatan (hot news). Yang diutamakan pada foto dalam kategori ini adalah segi keunikan subyeknya. Di negeri kita tercinta ini sasaran fotografi mengenai subyek semacam ini boleh dibilang melimpah. Selalu ada bahannya, asal saja sang pewarta foto jeli mengamatinya sehingga nantinya akan tercipta foto yang amat menarik.
Fotografi menjadi sebuah dunia yang kian merakyat dan inklusif. Maraknya jejaring sosial di Internet yang semakin mudah diakses dari ponsel turut menunjang hal itu. Sebuah produk foto digital begitu cepat dan mudah disebarluaskan di kalangan khalayak, baik melalui Facebook, Twitter dan sosial media lainnya. Persis cara kerja dunia jurnalistik, bahkan terkadang lebih cepat penyebarannya.
Ketika masyarakat makin akrab dengan dunia fotografi digital, dimanakah posisi foto jurnalistik saat ini? Seperti apakah fotografi jurnalistik itu sebenarnya? Fotografi jurnalistik jelas berbeda dengan bidang fotografi lainnya. Ada beberapa elemen yang harus dipenuhi dalam sebuah foto untuk bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.
Sebuah karya foto bisa dikatakan memiliki nilai jurnalistik jika memenuhi syarat jurnalistik yaitu memenuhi kreteria 5 W dan I H (What, Who, Why, When, Where dan How). "What" atau apa yaitu peristiwa apa yang sedang terjadi. "Who" Siapa yang menjadi objek dalam peristiwa tersebut. "Why" kenapa, latar belakang atau penyebab terjadinya suatu peristiwa. "When" yaitu kapan peristiwa itu terjadi. "Where" adalah tempat dimana suatu peristiwa itu terjadi. dan "How" yaitu seperti apa proses terjadinya suatu peristiwa itu dan bagaimana penyelesaiannya.
Foto jurnalistik itu sendiri merupakan bagian dari dunia jurnalistik yang menggunakan bahasa visual untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dan tetap terikat kode etik jurnalistik. Dalam membuat foto jurnalistik bukan sekadar jeprat-jepret semata. Ada etika yang harus selalu dijunjung tinggi, ada pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan batasan yang tidak boleh dilanggar, dan ada momentum yang harus ditampilkan dalam sebuah frame.
Hal terpenting dari fotografi jurnalistik adalah nilai-nilai kejujuran yang selalu didasarkan pada fakta obyektif semata. Foto jurnalistik sebenarnya adalah karya foto "biasa" tetapi memiliki nilai berita atau pesan yang "layak" untuk diketahui orang banyak dan disebarluaskan lewat media massa.
Ada beragam definisi tentang foto jurnalistik (Inggris : photo journalism) yang disampaikan para pakar komunikasi dan praktisi jurnalistik. Namun secara garis besar, menurut Guru Besar Universitas Missouri, AS, Cliff Edom, foto jurnalistik adalah paduan antara gambar (foto) dan kata. Jadi, selain fotonya itu sendiri, foto jurnalistik juga harus didukung dengan kata-kata yang terangkum dalam kalimat yang disebut dengan teks foto / caption foto, dengan tujuan untuk menjelaskan gambar dan mengungkapkan pesan atau berita yang akan disampaikan ke publik. Jika tidak disertai teks foto maka sebuah foto hanyalah gambar yang bisa dilihat tanpa bisa diketahui apa informasi dibaliknya.
Dalam buku "Photojournalism, The Visual Approach" karya Frank P Hoy menyebutkan ada tiga jenjang yang baik sebagai basis atau dasar seseorang yang akan memilih berkecimpung menjadi wartawan foto, yaitu:
1. Snapshot (pemotretan sekejap), adalah pemotretan yang dilakukan dengan cepat karena melihat suatu momen atau aspek menarik. Pemotretan ini dilakukan dengan spontan dan reflek yang kuat. Jenjang pertama ini masih menyangkut pendekatan yang lebih pribadi.
2. Fotografi sebagai hobi. Dalam tahapan ini fotografer mulai menekankan faktor eksperimen dalam pemotretannya, tidak hanya sekedar melakukan snapshot saja. Dalam tahap ini biasanya fotografer mulai tertarik lebih jauh pada hal-hal yang menyangkut fotografi.
3. Art photography (fotografi seni), suatu jenjang yang lebih serius. Berbagai subyek pemotretan dilihat dengan interpretasi yang luas. Ekspresi subyektif terlihat dalam karya-karya pada tahapan ini. Kejelian, improvisasi, kreasi dan kepekaan terhadap subyek menjadi basis pada jenjang ini.
Akhirnya, pewarta foto berada pada tahap selanjutnya. Artinya dalam mengemban profesi tersebut, maka seorang pewarta foto dianjurkan menguasai dengan fasih ketiga jenjang yang telah disebut tadi.
Foto jurnalistik mempunyai daya jangkau yang sangat luas. Dia mampu menyusupi seluruh fase intelektual hidup kita, membawa pengaruh besar atas pemikiran dan pembentukan pendapat publik. Kerja seorang pewarta foto adalah titipan mata dari masyarakat di mana foto yang tersaji adalah benar-benar bersifat jujur dan adil.
Sesuai dengan sasaran yang esensial dari pekerjaan jurnalistik atau kewartawanan, yaitu membantu khalayak ramai mengembangkan sikap untuk menghargai apa yang dianggap baik, di samping merangsang kemauan untuk merubah apa yang dianggap kurang baik. Salah satu ciri yang dimiliki para juru foto koran adalah secepatnya disampaikan kehadapan para pembaca. Secepatnya berarti sesuai dengan sajian kehangatan peristiwa itu sendiri, sehingga betapa baiknya sebuah foto belumlah punya arti sebagai berita jika hanya disimpan dalam hard disc atau album.
Secara umum fotografi jurnalistik dibagi menjadi beberapa, yaitu:
1. Spot
Lazim juga disebut hot news (berita hangat) atau hard news (berita keras). Berita yang termasuk dalam kategori ini meliputi aneka peristiwa mendadak yang melukiskan sejarah masa kini dan berlangsung sepintas. Misalnya peristiwa huru-hara, bencana alam, kecelakaan dan berbagai kejadian alam serta manusia, yang menuntut kesigapan pewarta foto untuk menangkapnya dalam hitungan detik. Kunci sukses untuk liputan berita dalam kategori ini seorang pewarta foto harus berada tepat di pusat peristiwa pada saat yang tepat, sebab subyek foto jenis ini tidak pernah bisa disuruh menunggu kehadiran juru foto.
2. Feature
Ini masih berkaitan dengan sebuah berita spot, tetapi berbeda dalam segi penggarapannya. Satu contoh misalnya rumah terbakar, untuk sajian berita spot sudah dianggap layak jika sudah melukiskan kobaran api atau asap hitam yang membubung tinggi ke langit. Namun dalam pola kategori features, pembaca diajak merasakan emosi para korban, dengan menampilkan wajah manusia sementara situasi morat-marit sebagai latar belakang. Foto-foto dalam kategori ini bukan sekedar jepretan sepintas (snapshot), tetapi ada upaya pewarta foto untuk memilih sudut pandang yang khas.
3. Olah raga
Perbendaharaan pengetahuan untuk tiap cabang permainan amat menentukan sukses tidaknya membuat foto pada kategori ini. Kreatifitas sang pewarta foto selalu diuji oleh keadaan atau peristiwanya. Cara menangkap momen penting disini juga patut disimak, apakah mampu memberikan sensasi tersendiri ataukah hanya mengulang peristiwa yang pernah ada. Orisinalitas sudat pandang didalam foto kategori ini layak dihargai sama pentingnya dengan bahan liputannya itu sendiri.
4. Potret
Pengertian potret (Potrait) dalam foto jurnalistik bukan melulu berupa close Up yang mampu menampilkan karakteristik dan suasana hati sang subyek terkenal. Paling utama adalah keunggulan pengungkapan kreatif dari watak seorang tokoh, hingga seakan-akan merupakan sebuah biografi visual. Hal ini dapat disajikan dalam bentuk Close Up atau ditengah suatu situasi atau kegiatan tertentu.
5. Fesyen (Fashion)
Dalam kajian berita Fashion, ada dua kegiatan yang harus diliput oleh pewarta foto yaitu kegiatan pentas dan kegiatan studio. Kedua bentuk kegiatan itu penanganan fotografisnya adalah serba khas. Kegiatan pentas atau panggung menuntut keunggulan pewarta foto untuk mengabadikan dalam tempo terbatas tanpa dipengaruhi unsur-unsur lain. Sedangkan kegiatan studio, seorang pewarta foto harus terlibat kerja sama dengan perias wajah atau penata artistic serta pihak lain yang menunjang suksesnya penyajian subyek foto tersebut.
6. Pariwisata
Pemberitaan Foto dari kategori ini adalah mengangkat kegiatan di sekitar obyek wisata. Pemberitaan semacam ini yang terpenting adalah mengandung nilai informasi bagi publik awam, baik mengenai tempat dengan suasana yang unik maupun mengenai bentuk adat serta budaya lokal yang menambah pengetahuan pembaca di daerah lain.
7. Celah Kehidupan
Berita dalam kategori ini boleh dikatakan lumrah meskipun tanpa terikat syarat unsur kehangatan (hot news). Yang diutamakan pada foto dalam kategori ini adalah segi keunikan subyeknya. Di negeri kita tercinta ini sasaran fotografi mengenai subyek semacam ini boleh dibilang melimpah. Selalu ada bahannya, asal saja sang pewarta foto jeli mengamatinya sehingga nantinya akan tercipta foto yang amat menarik.
Jumat, 13 Januari 2012
Aktivitas Senja di Pantai Stres
Minggu, 08 Januari 2012
Pekerja Anak
Gilbert, 14, adalah anak putus sekolah yang bekerja sebagai buruh pencukil kelapa kopra di daerah Pantai Stres Batuampar. Setiap harinya dia mampu mencukil kelapa kurang lebih sebanyak 10 sampai 15 kilogram. Tiap kilogramnya Gillbert mendapatkan upah sebesar Rp.700. Gilbert merupakan salah satu dari sekian banyak pekerja anak yang ada di Indonesia.
Dari data Sakernas tahun 2003, jumlah pekerja anak-anak (di bawah usia 15 tahun) mencapai 556,526 orang. Kalau digunakan batasan dari UU No 13 tentang Ketenagakerjaan tahun 2003, dimana disebutkan yang termasuk pekerja anak-anak (PA) adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun maka jumlahnya akan semakin besar. Angka dari Sakernas (2003) menunjukkan para PA yang di daerah perdesaan jauh lebih banyak yakni sebesar 79% dibanding di perkotaan yakni sebesar 21%. Dilihat dari jenis pekerjaannya,sebanyak 62% bekerja di sektor pertanian, 19% di industeri dan, dan 19% di sektor jasa. Hal yang menarik diungkapkan bahwa sebanyak 74% merupakan PA yang tak dibayar karena memang statusnya adalah membantu bisnis orangtuanya. Sementara sebanyak 14% berstatus pekerja tetap di berbagai industri. Golongan yang disebut terakhir ini umumnya dibayar dengan upah yang relatif rendah. Selain itu perusahaan merasa perlu menerima mereka karena alasan-alasan dapat menekan biaya produksi, mereka mudah diatur karena tak banyak menuntut.
Walaupun sudah ada UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetap saja PA berkeliaran dimana-mana. Dalam UU itu dikatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orangtua dilarang menelantarkan anaknya. Kalau dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman termasuk perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Di sisi lain dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimum tiga jam seharinya.Namun kenyataannya penerapan semua UU itu tidak berjalan semestinya. Tetap saja PA berlangsung dimana-mana.Malah ada yang sangat gawat yakni jual beli anak-anak di bawah umur untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks.
Kasus banyaknya PA di negara-negara berkembang seperti di Indonesia juga terjadi di negara-negara lain. Hampir di semua negara Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin dengan mudah dijumpai para PA. Disamping dalam pekerjaan formal maka mudah terlihat mereka sebagai tukang pensemir sepatu, pengamen,tukang parkir, penyewa payung, kuli, dan penjual koran. Bahkan di beberapa kota di Indonesia seperti di Bogor, banyak sekali anak-anak yang seharusnya bersekolah di sekolah dasar dan lanjutan,terpaksa mereka ada di jalanan. Tidak saja di siang hari tetapi sampai larut malam untuk mengais rupiah dari orang lain. Mengapa mereka melakukan hal itu? Karena mereka tak punya pilihan lain yang terbaik. Kehidupan keseharian mereka sebagai wajarnya seorang anak yang ceria, sehat, rajin bersekolah, dan senang bermain terampas oleh keadaan yang sulit dicegah. Biang keroknya adalah faktor kemiskinan absolut.
Karena itu seharusnya pemerintah dan semua lapisan masyarakat utamanya golongan yang beruntung untuk memanfaatkan momen Hari Pemberantasan Kemiskinan yang disponsori PBB, Oktober 2007 yang lalu. Kemiskinan semestinya tidak lagi menjadi wacana kampanye partai politik. Kemiskinan tidak lagi hanya berhenti pada jargon-jargon kalangan seniman, pendawah, pekhutbah, Dan cuma dicerminkan oleh peresmian-peresmian seremonial belaka oleh para pemimpin dengan janji-janji memikat. Jangan pula berhenti sebagai isapan jempol. Triple track strategy dari pemerintah berupa pro-growth, pro-employment,dan pro-poor hanyalah akan bersifat retorika kalau tidak dijabarkan dalam bentuk pelaksanaan program-program terarah. Perlu dibangkitkan gerakan empati pada kemiskinan dengan berbuat nyata. Peluang untuk memperbanyak orangtua asuh, peluang kerja di beberapa sektor penyerap tenaga kerja seperti sektor pertanian, program kesehatan dan pendidikan murah, dan dukungan infrastruktur tak bisa ditunda-tunda lagi. Kapan lagi?
Jumat, 06 Januari 2012
Sejarah Jurnalisme Indonesia
Almanak menunjukkan pada hari Senin tanggal 13 Desember 1937, di suatu kantor sederhana di utara Jakarta nan pengap, janin penantian segera tertorehkan sebagai sejarah. Berkat mesin stensil bekas merek Roneo milik seorang pemuda nasionalis bernama Adam Malik, buletin edisi perdana yang sangat ditunggu dengan berdebar-debar itu akhirnya benar-benar terbit. Dalam maklumatnya, di atas kertas buram agak dekil, terbaca tulisan "Maka moelai hari ini ditetapkan berdirinya persbureau itoe dengan nama ANTARA. Alamat Buitentijgerstraat 30, Batavia, telefoon Bt 1725". Bisa ditambahkan, alamat tersebut hanyalah bilik kerja perdana ANTARA dengan inventaris yang sangat minimalis. Satu meja kerja, satu mesin tik dan satu Roneo tadi. Ruang kerja yang nebeng di kantor ekspedisi "Pengharapan" milik kerabat Adam Malik bernama Jahja Nasution. Di lokasi itu pula Bung Adam indekos, begitu menjejakkan kakinya di tanah rantau bumi Batavia pada 1934. Tak ada gaji bagi manajemen, sampai tiga tahun kemudian kala kantor ANTARA bergeser ke lokasi yang sedikit lebih lega di jalan Tanah Abang Barat no.90.
Dalam salinan seperti yang dikutip Soebagijo I.N. dalam buku "Lima Windu ANTARA" (1978), terdapat drama yang melandasi keputusan heroik itu. Adam Malik Batubara (20 tahun), Pandu Kartawiguna (21), Albert Manumpak Sipahutar (23) dan yang paling senior, Sumanang Suriowinoto (29), adalah sekelompok pemuda yang masih seumur jagung, namun memiliki visi yang begitu benderang. Empat serangkai itu adalah wartawan muda idealis, berkarakter, penuh integritas, sekaligus aktivis gerakan yang dengan komitmen pilihannya memanfaatkan bidang jurnalistik untuk ikut menggelorakan perjuangan Indonesia menuju kemerdekaannya.
Inspirasi berjuang via kancah jurnalistik bermula dari hotel prodeo jalan Salemba Tengah, dimana Adam Malik ditawan karena ikutan rapat gelap sebagai simpatisan Partai Republik Indonesi (PARI) bentukan idolanya, Tan Malaka. Di dalam bui, Adam berkenalan dengan Pandu, anggota Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia. Mereka segera akrab, karena idealisme mereka begitu sebangun. Dari sel-sel lembab itulah lahir ide jurnalisme perlawanan yang menerangi lorong-lorong kegelapan melawan kolonialisme. Selepas menjalani tahanan, keberadaan Adam dan Pandu terlengkapi dengan kehadiran Sumanang dan Sipahutar. Kepaduan mereka berempat nantinya bakal menggelindingkan konsep jurnalisme kantor berita yang mereka yakini dan kelak integritasnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah pers Indonesia. Integritas yang melahirkan begitu banyak wartawan kelas wahid nan tangguh dan berpengaruh, setidaknya hingga Presiden Sukarno mengambil alih otoritas ANTARA pada tahun 1962.
Tujuh puluh empat tahun setelah buletin perdana tadi, meskipun dengan susah-payah Kantor Berita ANTARA masih bisa bernafas dan eksis dalam peta persaingan yang sesungguhnya sangat mengerikan. Betapa tidak, fungsi kantor berita yang tadinya praktis hanya dijalankan oleh ANTARA, kini juga diluncurkan oleh nyaris seluruh "koran nasional dotcom", ditambah dengan keberadaan jurnalisme siber (cyber journalism) yang telah duluan eksis. Kondisi tersebut menyudutkan ANTARA pada posisi yang kritis. Dengan status gawat darurat begitu, mutlak perlu pembenahan dengan perubahan taktik serta strategi yang tepat, terutama memberdayakan potensi sumber daya jurnalisme komparatif yang masih menjadi kekuatan kita. Semaksimal mungkin. Membentuknya dengan sehat agar seluruh awaknya sanggup bertempur dalam badai persaingan sehat bahkan pada jaman teknologi yang berkembang lebih cepat ketimbang lintasan cahaya di tata surya.
Mendukung profesionalisme jurnalisme dalam konteks rivalitas seketat kini, membutuhkan apresiasi dan kemutlakan komitmen aksi nyata. Wujudnya adalah jaminan mutlak pada aneka ragam logistik teknisnya, termasuk peralatan "perang" standar yang memadai, sebagai tanggung jawab perusahaan dalam memberdayakan potensi produk jurnalisme murni dan terapannya yang selama ini dalam pembiaran serta kebersahajaannya toh terus tegar mengibarkan panji-panji ANTARA. "Trust" yang menjadi akibat dari suatu kejayaan, tak mungkin diperoleh dengan menampik apresiasi seraya mengerdilkan prestasi sekecil apapun yang telah dilakukan oleh sekrup manapun dalam organisasi ANTARA sejauh ini.
Sayang, untuk urusan yang satu ini, para punggawa kita agaknya lebih senang "berjudi" dengan membangun proyek flamboyan layar kaca, lengkap dengan studionya segala. Studio yang berdiri gagah di atas puing reruntuhan satu-satunya ruang rapat pleno redaksi yang dibangun pada masa kepemimpinan Handjojo Nitimihardjo. Dengan segala hormat pada keputusan dewan punggawa yang sudah diambil, timbul satu saja pertanyaan, mampukah kalian memberi garansi pada kawula dan para pemangku kepentingan (stakeholders) bahwa proyek mercu-suar itu bakal bisa sukses dan membawa prestise bagi Kantor Berita ANTARA? Jaminan untuk membangkitkan kejayaan ANTARA yang "branding"-nya dulu dibangun dengan segala kesederhanaan fisik, tapi dengan kemewahan dan harta berupa gagasan, determinasi, pemikiran serta komitmen yang melimpah.
Belum lagi, "ujug-ujug" membangun pusat data serta markom yang sama sekali bukan ide baru, kecuali memang sedang dilatahi di beberapa penjuru, mirip-miriplah seperti kutipan "sesuatu"-nya Syahrini. Soal latah memang kita rada mahir. Ketika standar global macam ISO sedang digandrungi, kita juga ikutan berusaha memperoleh capnya. Padahal standar begituan, mohon maaf, lebih cocok buat produsen barang seperti pabrik panci, bukan perusahaan media yang dibangun berdasarkan kepercayaan dari pembacanya. Kita juga terkesan malu-malu kucing menyebut diri sebagai kantor berita global, tapi di lain sisi mengalami "e-phoria" alias gandrung terhadap dotcom-dotcoman. Jualannya juga tergantung musim. Musim bal-balan kita jualan portal bola, musim pemilihan kita jualan ruang khusus politikus. Hasilnya? Tanyakan sajalah pada rumput yang bergoyang...
Ciri lain yang juga tak kalah pentingnya, khususnya bagi para dirigen non-karier, adalah lambannya mereka beradaptasi terhadap krisis jurnalisme kantor berita yang mestinya direvitalisasi dengan konstruksi profesionalisme yang kokoh, tingkat apresiasi yang tinggi, komitmen kinerja seperti yang terefleksi dari para perintis kita dahulu. Faktor-faktor itulah yang kelak melahirkan integritas. Integritas otomatis melahirkan prestise yang didengungkan oleh chief-de-mission-nya ANTARA sebagai "branding". Percuma kita mendengungkan budaya perusahaan yang sejauh ini hanya jadi pemulas bibir, sementara para perintis kita telah mengamalkannya dengan bukti, tanpa harus dituntun dengan segala rupa prosedur standar dan teori-teori yang indah dan penuh retorika. Memberhalakan sejarah, sama berdosanya dengan pengajuan proposal penambahan kuota permen PSO (public service obligation) yang bisa bikin kita addicted alias ketagihan. Tanpa kiat dan niat yang luar biasa untuk lepas dari kenikmatan semu nan fana itu, makin cepat kita mendekatkan diri pada jurang sakratul-maut jurnalisme kantor berita yang telah susah payah dibangun oleh para pendahulu ANTARA.
Karenanya, jika belum mampu membedaki visi, bermimpi saja memang tak dilarang. Tapi mohon dipahami, mimpi hanyalah semerbak lelap yang tumpas tertelan begitu mentari esok terbit lagi. Jejaklah bumi sebagai awal introspeksi kita pada varian kekuatan kita sendiri yang barangkali justru terkuburkan oleh rasa kecemburuan bawah sadar kita. Rezim selalu butuh legacy untuk anak-cucu profesionalisme. Pilihan hanya ada dua: positif atau negatif. Tidak ada posisi netral kali ini, karena status-quo akan menenggelamkan bahtera sebelum fajar tiba. Karenanya selagi sempat, sekaranglah saatnya pengkerdilan itu diakhiri. Sudahi gaya kepemimpinan ala "kuman di seberang tampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan". Tak mungkin kita melangkah lebih cepat dari bayangan kita. Percayalah, itu hal yang mustahil karena hanya Lucky Luke yang mampu melakukannya.
Dalam salinan seperti yang dikutip Soebagijo I.N. dalam buku "Lima Windu ANTARA" (1978), terdapat drama yang melandasi keputusan heroik itu. Adam Malik Batubara (20 tahun), Pandu Kartawiguna (21), Albert Manumpak Sipahutar (23) dan yang paling senior, Sumanang Suriowinoto (29), adalah sekelompok pemuda yang masih seumur jagung, namun memiliki visi yang begitu benderang. Empat serangkai itu adalah wartawan muda idealis, berkarakter, penuh integritas, sekaligus aktivis gerakan yang dengan komitmen pilihannya memanfaatkan bidang jurnalistik untuk ikut menggelorakan perjuangan Indonesia menuju kemerdekaannya.
Inspirasi berjuang via kancah jurnalistik bermula dari hotel prodeo jalan Salemba Tengah, dimana Adam Malik ditawan karena ikutan rapat gelap sebagai simpatisan Partai Republik Indonesi (PARI) bentukan idolanya, Tan Malaka. Di dalam bui, Adam berkenalan dengan Pandu, anggota Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia. Mereka segera akrab, karena idealisme mereka begitu sebangun. Dari sel-sel lembab itulah lahir ide jurnalisme perlawanan yang menerangi lorong-lorong kegelapan melawan kolonialisme. Selepas menjalani tahanan, keberadaan Adam dan Pandu terlengkapi dengan kehadiran Sumanang dan Sipahutar. Kepaduan mereka berempat nantinya bakal menggelindingkan konsep jurnalisme kantor berita yang mereka yakini dan kelak integritasnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah pers Indonesia. Integritas yang melahirkan begitu banyak wartawan kelas wahid nan tangguh dan berpengaruh, setidaknya hingga Presiden Sukarno mengambil alih otoritas ANTARA pada tahun 1962.
Tujuh puluh empat tahun setelah buletin perdana tadi, meskipun dengan susah-payah Kantor Berita ANTARA masih bisa bernafas dan eksis dalam peta persaingan yang sesungguhnya sangat mengerikan. Betapa tidak, fungsi kantor berita yang tadinya praktis hanya dijalankan oleh ANTARA, kini juga diluncurkan oleh nyaris seluruh "koran nasional dotcom", ditambah dengan keberadaan jurnalisme siber (cyber journalism) yang telah duluan eksis. Kondisi tersebut menyudutkan ANTARA pada posisi yang kritis. Dengan status gawat darurat begitu, mutlak perlu pembenahan dengan perubahan taktik serta strategi yang tepat, terutama memberdayakan potensi sumber daya jurnalisme komparatif yang masih menjadi kekuatan kita. Semaksimal mungkin. Membentuknya dengan sehat agar seluruh awaknya sanggup bertempur dalam badai persaingan sehat bahkan pada jaman teknologi yang berkembang lebih cepat ketimbang lintasan cahaya di tata surya.
Mendukung profesionalisme jurnalisme dalam konteks rivalitas seketat kini, membutuhkan apresiasi dan kemutlakan komitmen aksi nyata. Wujudnya adalah jaminan mutlak pada aneka ragam logistik teknisnya, termasuk peralatan "perang" standar yang memadai, sebagai tanggung jawab perusahaan dalam memberdayakan potensi produk jurnalisme murni dan terapannya yang selama ini dalam pembiaran serta kebersahajaannya toh terus tegar mengibarkan panji-panji ANTARA. "Trust" yang menjadi akibat dari suatu kejayaan, tak mungkin diperoleh dengan menampik apresiasi seraya mengerdilkan prestasi sekecil apapun yang telah dilakukan oleh sekrup manapun dalam organisasi ANTARA sejauh ini.
Sayang, untuk urusan yang satu ini, para punggawa kita agaknya lebih senang "berjudi" dengan membangun proyek flamboyan layar kaca, lengkap dengan studionya segala. Studio yang berdiri gagah di atas puing reruntuhan satu-satunya ruang rapat pleno redaksi yang dibangun pada masa kepemimpinan Handjojo Nitimihardjo. Dengan segala hormat pada keputusan dewan punggawa yang sudah diambil, timbul satu saja pertanyaan, mampukah kalian memberi garansi pada kawula dan para pemangku kepentingan (stakeholders) bahwa proyek mercu-suar itu bakal bisa sukses dan membawa prestise bagi Kantor Berita ANTARA? Jaminan untuk membangkitkan kejayaan ANTARA yang "branding"-nya dulu dibangun dengan segala kesederhanaan fisik, tapi dengan kemewahan dan harta berupa gagasan, determinasi, pemikiran serta komitmen yang melimpah.
Belum lagi, "ujug-ujug" membangun pusat data serta markom yang sama sekali bukan ide baru, kecuali memang sedang dilatahi di beberapa penjuru, mirip-miriplah seperti kutipan "sesuatu"-nya Syahrini. Soal latah memang kita rada mahir. Ketika standar global macam ISO sedang digandrungi, kita juga ikutan berusaha memperoleh capnya. Padahal standar begituan, mohon maaf, lebih cocok buat produsen barang seperti pabrik panci, bukan perusahaan media yang dibangun berdasarkan kepercayaan dari pembacanya. Kita juga terkesan malu-malu kucing menyebut diri sebagai kantor berita global, tapi di lain sisi mengalami "e-phoria" alias gandrung terhadap dotcom-dotcoman. Jualannya juga tergantung musim. Musim bal-balan kita jualan portal bola, musim pemilihan kita jualan ruang khusus politikus. Hasilnya? Tanyakan sajalah pada rumput yang bergoyang...
Ciri lain yang juga tak kalah pentingnya, khususnya bagi para dirigen non-karier, adalah lambannya mereka beradaptasi terhadap krisis jurnalisme kantor berita yang mestinya direvitalisasi dengan konstruksi profesionalisme yang kokoh, tingkat apresiasi yang tinggi, komitmen kinerja seperti yang terefleksi dari para perintis kita dahulu. Faktor-faktor itulah yang kelak melahirkan integritas. Integritas otomatis melahirkan prestise yang didengungkan oleh chief-de-mission-nya ANTARA sebagai "branding". Percuma kita mendengungkan budaya perusahaan yang sejauh ini hanya jadi pemulas bibir, sementara para perintis kita telah mengamalkannya dengan bukti, tanpa harus dituntun dengan segala rupa prosedur standar dan teori-teori yang indah dan penuh retorika. Memberhalakan sejarah, sama berdosanya dengan pengajuan proposal penambahan kuota permen PSO (public service obligation) yang bisa bikin kita addicted alias ketagihan. Tanpa kiat dan niat yang luar biasa untuk lepas dari kenikmatan semu nan fana itu, makin cepat kita mendekatkan diri pada jurang sakratul-maut jurnalisme kantor berita yang telah susah payah dibangun oleh para pendahulu ANTARA.
Karenanya, jika belum mampu membedaki visi, bermimpi saja memang tak dilarang. Tapi mohon dipahami, mimpi hanyalah semerbak lelap yang tumpas tertelan begitu mentari esok terbit lagi. Jejaklah bumi sebagai awal introspeksi kita pada varian kekuatan kita sendiri yang barangkali justru terkuburkan oleh rasa kecemburuan bawah sadar kita. Rezim selalu butuh legacy untuk anak-cucu profesionalisme. Pilihan hanya ada dua: positif atau negatif. Tidak ada posisi netral kali ini, karena status-quo akan menenggelamkan bahtera sebelum fajar tiba. Karenanya selagi sempat, sekaranglah saatnya pengkerdilan itu diakhiri. Sudahi gaya kepemimpinan ala "kuman di seberang tampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan". Tak mungkin kita melangkah lebih cepat dari bayangan kita. Percayalah, itu hal yang mustahil karena hanya Lucky Luke yang mampu melakukannya.
Oscar Motulloh
pewarta ANTARA
Selasa, 03 Januari 2012
Pekerja
Dua pekerja menyelesaikan pembangunan jembatan penyeberangan di Jalan Raya Tembesi Batuaji Batam, Rabu (4/1). Jembatan penyeberangan ini merupakan proyek Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kepri yang semestinya selesai pada Desember 2011 kemarin.
Anak Sekolah
Siswa SD Negeri 005 Sei Beduk Batam duduk-duduk di pagar pintu sekolah saat jam istirahat, Rabu (4/1). Saat ini Kota Batam masih kekurangan ruang kelas atau bangunan untuk sekolah. Pemerintah Kota Batam berencana untuk mengubah rumah dinas guru untuk dijadikan ruang kelas.
Senin, 02 Januari 2012
Kiat Meningkatkan Kreatifitas Fotografi
Dalam banyak seminar fotografi selalu muncul pertanyaan, apakah kemampuan fotografi bisa dilatih dan ditingkatkan. Pertanyaan ini berkaitan dengan beberapa pehobi fotografi yang merasa bahwa kemampuan fotografisnya sudah mentok dan merasa tidak punya tantangan lagi dalam melakukan hobinya tersebut. Benarkah kemampuan fotografi itu bisa naik turun?
Sebenarnya ilmu fotografi itu mirip dengan ilmu berenang. Sekali kita sudah bisa berenang sampai kapan pun tetap bisa walau sempat tidak bersentuhan dengan kolam sampai beberapa tahun. Namun, kecepatan dan daya tahan berenang seorang atlet tentu berbeda dengan orang yang hanya berenang agar sekadar bugar.
Dalam dunia fotografi, seorang yang sempat sangat mahir dalam bidang ini tetap punya mata yang baik dalam melihat dan menilai foto sampai kapan pun. Namun, kalau dia sempat lama tidak memotret, kepekaannya merekam pasti akan sangat menurun. Jadi, kemampuan melihat tetap, tetapi kemampuan menghasilkan yang akan menurun.
Bagaimana melatih kemampuan menghasilkan foto ini?
Sebenarnya ilmu fotografi itu mirip dengan ilmu berenang. Sekali kita sudah bisa berenang sampai kapan pun tetap bisa walau sempat tidak bersentuhan dengan kolam sampai beberapa tahun. Namun, kecepatan dan daya tahan berenang seorang atlet tentu berbeda dengan orang yang hanya berenang agar sekadar bugar.
Dalam dunia fotografi, seorang yang sempat sangat mahir dalam bidang ini tetap punya mata yang baik dalam melihat dan menilai foto sampai kapan pun. Namun, kalau dia sempat lama tidak memotret, kepekaannya merekam pasti akan sangat menurun. Jadi, kemampuan melihat tetap, tetapi kemampuan menghasilkan yang akan menurun.
Bagaimana melatih kemampuan menghasilkan foto ini?
”Memotong” adegan
Fotografi adalah ”memotong” adegan dari realitas 360 derajat yang tiga dimensi ke dalam sepotong foto. Sebuah foto menjadi menarik karena ”terbatas”, alias cuma sebagian dari realitas. Maka, hal yang harus disadari dalam fotografi adalah kemampuan melihat ”sepotong” realitas itu. Foto yang bagus muncul dari kejelian sang fotografer menemukan potongan tersebut.
Orang yang tiap hari memotret pasti lebih jeli dalam melihat sebuah ”potongan yang indah”, sedangkan orang yang sudah jarang memotret mungkin tidak sadar bahwa di depannya terpampang sebuah bahan fotografi yang menarik.
Maka, melatih kemampuan dan kreativitas fotografi sebenarnya bisa dilakukan dengan cara-cara sederhana. Tulisan ini mencoba menyederhanakan berbagai metode pelatihan fotografi yang pernah dilakukan di berbagai seminar dan pelatihan.
”Street Photography”
Untuk mengasah kemampuan fotografi, kita bisa melakukan perjalanan keliling kota sambil memotret. Namun, kita hanya boleh memotret hal-hal yang tidak lazim atau yang bukan hal yang biasa kita lihat di berbagai foto. Dengan cara ini, kita mencoba ”meluaskan” apa yang selama ini kita jalani.
Contoh-contoh dalam tulisan ini akhirnya hanya sekadar contoh. Di dunia nyata sangat banyak subyek-subyek yang bisa kita lihat dan rasakan lalu kita rekam ke dalam selembar foto.
Anda bisa melakukan dan merancang latihan Anda sendiri.
By: Arbain Rambey
Distribusi Sembako
Pendistribusian sembilan bahan pokok (sembako) terganggu akibat longsornya jalan menuju Galang, 26 Desember 2011 yang lalu.
Traditional Fisherman
Zairin (39) seorang nelayan tradisional yang tinggal di Kampung TanjungUma Jodoh Batam mendayung perahunya untuk pergi mencari ikan, Senin (2/1). Pada bulan Desember hingga awal Februari adalah musim angin utara yang mengakibatkan golambang di perairan Indonesia, Kepulauan Riau khususnya tinggi dan banyak badai di tengah laut. Gelombang di perairan Kepri bisa mencapai hingga lima meter yang sangat membahayakan bagi para nelayan terutama nelayan tradisional yang masih menggunakan perahu kecil.
Terbit Halaman 1 Jawa Pos
Fotoku yang menggambarkan seorang anak sedang membawa sembako melewati jembatan darurat di Pulau Galang menjadi foto head line di Harian Jawa Pos tanggal 27 Desember 2011.
Minggu, 01 Januari 2012
Barelang Bridge
Jembatan Raja Ali Haji Fisabilillah atau biasa dikenal sebagai Jembatan I Barelang yang menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton memiliki panjang 642 meter. Jembatan I Barelang dibangun pada tahun 1992 dengan total biaya Rp. 400 milliar. Pemrakarsa pembangunan jembatan ini adalah BJ Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Jembatan yang menjadi kebanggaan masyarakat Batam ini termasuk kedalam lima jembatan terbesar di Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)