Jumat, 06 Januari 2012

Sejarah Jurnalisme Indonesia

Almanak menunjukkan pada hari Senin tanggal 13 Desember 1937, di suatu kantor sederhana di utara Jakarta nan pengap, janin penantian segera tertorehkan sebagai sejarah. Berkat mesin stensil bekas merek Roneo milik seorang pemuda nasionalis bernama Adam Malik, buletin edisi perdana yang sangat ditunggu dengan berdebar-debar itu akhirnya benar-benar terbit. Dalam maklumatnya, di atas kertas buram agak dekil, terbaca tulisan "Maka moelai hari ini ditetapkan berdirinya persbureau itoe dengan nama ANTARA. Alamat Buitentijgerstraat 30, Batavia, telefoon Bt 1725". Bisa ditambahkan, alamat tersebut hanyalah bilik kerja perdana ANTARA dengan inventaris yang sangat minimalis. Satu meja kerja, satu mesin tik dan satu Roneo tadi. Ruang kerja yang nebeng di kantor ekspedisi "Pengharapan" milik kerabat Adam Malik bernama Jahja Nasution. Di lokasi itu pula Bung Adam indekos, begitu menjejakkan kakinya di tanah rantau bumi Batavia pada 1934. Tak ada gaji bagi manajemen, sampai tiga tahun kemudian kala kantor ANTARA bergeser ke lokasi yang sedikit lebih lega di jalan Tanah Abang Barat no.90.

Dalam salinan seperti yang dikutip Soebagijo I.N. dalam buku "Lima Windu ANTARA" (1978), terdapat drama yang melandasi keputusan heroik itu. Adam Malik Batubara (20 tahun), Pandu Kartawiguna (21), Albert Manumpak Sipahutar (23) dan yang paling senior, Sumanang Suriowinoto (29), adalah sekelompok pemuda yang masih seumur jagung, namun memiliki visi yang begitu benderang. Empat serangkai itu adalah wartawan muda idealis, berkarakter, penuh integritas, sekaligus aktivis gerakan yang dengan komitmen pilihannya memanfaatkan bidang jurnalistik untuk ikut menggelorakan perjuangan Indonesia menuju kemerdekaannya.

Inspirasi berjuang via kancah jurnalistik bermula dari hotel prodeo jalan Salemba Tengah, dimana Adam Malik ditawan karena ikutan rapat gelap sebagai simpatisan Partai Republik Indonesi (PARI) bentukan idolanya, Tan Malaka. Di dalam bui, Adam berkenalan dengan Pandu, anggota Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia. Mereka segera akrab, karena idealisme mereka begitu sebangun. Dari sel-sel lembab itulah lahir ide jurnalisme perlawanan yang menerangi lorong-lorong kegelapan melawan kolonialisme. Selepas menjalani tahanan, keberadaan Adam dan Pandu terlengkapi dengan kehadiran Sumanang dan Sipahutar. Kepaduan mereka berempat nantinya bakal menggelindingkan konsep jurnalisme kantor berita yang mereka yakini dan kelak integritasnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah pers Indonesia. Integritas yang melahirkan begitu banyak wartawan kelas wahid nan tangguh dan berpengaruh, setidaknya hingga Presiden Sukarno mengambil alih otoritas ANTARA pada tahun 1962.

Tujuh puluh empat tahun setelah buletin perdana tadi, meskipun dengan susah-payah Kantor Berita ANTARA masih bisa bernafas dan eksis dalam peta persaingan yang sesungguhnya sangat mengerikan. Betapa tidak, fungsi kantor berita yang tadinya praktis hanya dijalankan oleh ANTARA, kini juga diluncurkan oleh nyaris seluruh "koran nasional dotcom", ditambah dengan keberadaan jurnalisme siber (cyber journalism) yang telah duluan eksis. Kondisi tersebut menyudutkan ANTARA pada posisi yang kritis. Dengan status gawat darurat begitu, mutlak perlu pembenahan dengan perubahan taktik serta strategi yang tepat, terutama memberdayakan potensi sumber daya jurnalisme komparatif yang masih menjadi kekuatan kita. Semaksimal mungkin. Membentuknya dengan sehat agar seluruh awaknya sanggup bertempur dalam badai persaingan sehat bahkan pada jaman teknologi yang berkembang lebih cepat ketimbang lintasan cahaya di tata surya.

Mendukung profesionalisme jurnalisme dalam konteks rivalitas seketat kini, membutuhkan apresiasi dan kemutlakan komitmen aksi nyata. Wujudnya adalah jaminan mutlak pada aneka ragam logistik teknisnya, termasuk peralatan "perang" standar yang memadai, sebagai tanggung jawab perusahaan dalam memberdayakan potensi produk jurnalisme murni dan terapannya yang selama ini dalam pembiaran serta kebersahajaannya toh terus tegar mengibarkan panji-panji ANTARA. "Trust" yang menjadi akibat dari suatu kejayaan, tak mungkin diperoleh dengan menampik apresiasi seraya mengerdilkan prestasi sekecil apapun yang telah dilakukan oleh sekrup manapun dalam organisasi ANTARA sejauh ini.

Sayang, untuk urusan yang satu ini, para punggawa kita agaknya lebih senang "berjudi" dengan membangun proyek flamboyan layar kaca, lengkap dengan studionya segala. Studio yang berdiri gagah di atas puing reruntuhan satu-satunya ruang rapat pleno redaksi yang dibangun pada masa kepemimpinan Handjojo Nitimihardjo. Dengan segala hormat pada keputusan dewan punggawa yang sudah diambil, timbul satu saja pertanyaan, mampukah kalian memberi garansi pada kawula dan para pemangku kepentingan (stakeholders) bahwa proyek mercu-suar itu bakal bisa sukses dan membawa prestise bagi Kantor Berita ANTARA? Jaminan untuk membangkitkan kejayaan ANTARA yang "branding"-nya dulu dibangun dengan segala kesederhanaan fisik, tapi dengan kemewahan dan harta berupa gagasan, determinasi, pemikiran serta komitmen yang melimpah.

Belum lagi, "ujug-ujug" membangun pusat data serta markom yang sama sekali bukan ide baru, kecuali memang sedang dilatahi di beberapa penjuru, mirip-miriplah seperti kutipan "sesuatu"-nya Syahrini. Soal latah memang kita rada mahir. Ketika standar global macam ISO sedang digandrungi, kita juga ikutan berusaha memperoleh capnya. Padahal standar begituan, mohon maaf, lebih cocok buat produsen barang seperti pabrik panci, bukan perusahaan media yang dibangun berdasarkan kepercayaan dari pembacanya. Kita juga terkesan malu-malu kucing menyebut diri sebagai kantor berita global, tapi di lain sisi mengalami "e-phoria" alias gandrung terhadap dotcom-dotcoman. Jualannya juga tergantung musim. Musim bal-balan kita jualan portal bola, musim pemilihan kita jualan ruang khusus politikus. Hasilnya? Tanyakan sajalah pada rumput yang bergoyang...

Ciri lain yang juga tak kalah pentingnya, khususnya bagi para dirigen non-karier, adalah lambannya mereka beradaptasi terhadap krisis jurnalisme kantor berita yang mestinya direvitalisasi dengan konstruksi profesionalisme yang kokoh, tingkat apresiasi yang tinggi, komitmen kinerja seperti yang terefleksi dari para perintis kita dahulu. Faktor-faktor itulah yang kelak melahirkan integritas. Integritas otomatis melahirkan prestise yang didengungkan oleh chief-de-mission-nya ANTARA sebagai "branding". Percuma kita mendengungkan budaya perusahaan yang sejauh ini hanya jadi pemulas bibir, sementara para perintis kita telah mengamalkannya dengan bukti, tanpa harus dituntun dengan segala rupa prosedur standar dan teori-teori yang indah dan penuh retorika. Memberhalakan sejarah, sama berdosanya dengan pengajuan proposal penambahan kuota permen PSO (public service obligation) yang bisa bikin kita addicted alias ketagihan. Tanpa kiat dan niat yang luar biasa untuk lepas dari kenikmatan semu nan fana itu, makin cepat kita mendekatkan diri pada jurang sakratul-maut jurnalisme kantor berita yang telah susah payah dibangun oleh para pendahulu ANTARA.

Karenanya, jika belum mampu membedaki visi, bermimpi saja memang tak dilarang. Tapi mohon dipahami, mimpi hanyalah semerbak lelap yang tumpas tertelan begitu mentari esok terbit lagi. Jejaklah bumi sebagai awal introspeksi kita pada varian kekuatan kita sendiri yang barangkali justru terkuburkan oleh rasa kecemburuan bawah sadar kita. Rezim selalu butuh legacy untuk anak-cucu profesionalisme. Pilihan hanya ada dua: positif atau negatif. Tidak ada posisi netral kali ini, karena status-quo akan menenggelamkan bahtera sebelum fajar tiba. Karenanya selagi sempat, sekaranglah saatnya pengkerdilan itu diakhiri. Sudahi gaya kepemimpinan ala "kuman di seberang tampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan". Tak mungkin kita melangkah lebih cepat dari bayangan kita. Percayalah, itu hal yang mustahil karena hanya Lucky Luke yang mampu melakukannya.

Oscar Motulloh
pewarta ANTARA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar